Ketika menyelesaikan penjurian babak penyisihan Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2010, untuk memilih lebih dari 3,000 foto yang masuk, untuk diteruskan ke babak final, saya pesimis dengan hasilnya. Betapa tidak, saya tidak melihat banyak foto hebat, tidak banyak melihat foto dengan tampilan menarik dari kejadian sepanjang tahun lalu.
Babak penyisihan 3000 foto itu berlangsung cepat. Padahal ada banyak peristiwa besar sepanjang tahun itu, setidaknya ada kerusuhan Makam Mbah Priok di Jakarta, banjir bandang di Wasior, Papua, juga ada tsunami di Mentawai, erupsi gunung Merapi dan Gunung Bromo di Pulau Jawa. Nyatanya lembar-lembar penilaian dengan mudah saya lewati, terlalu banyak foto biasa yang tampil.
Bisa jadi ada beberapa kemungkinan yang menyebabkannya, bisa karena kemandekan proses kreatif jurnalis itu sendiri, atau kesalahan memilih saat mengedit foto, tapi yang pasti banyak peserta memasukkan foto dalam kategori yang salah. Sayangnya, juri tidak mempunyai hak untuk memindah foto yang salah kategori ke dalam katagori sebenarnya. Jadilah beberapa foto bagus harus terbuang.
Kemungkinan lain adalah tidak masuknya foto peserta karena jebolnya server penerima APFI beberapa hari menjelang penutupan penerimaan karena begitu banyaknya foto masuk. Sebuah masalah klasik dalam sebuah lomba, fotografer memasukkan fotonya ketika tenggat waktu mendekati habis.
Kategori Sport contohnya, Foto tangan para supporter milik Heru Sri Kumoro (Kompas) cukup kuat dan pantas menjadi juara, sedangkan foto juara lainnya hanya kuat sebagai nominasi (atau bahkan tidak). Dan foto nominasi yang terpilih tidak cukup kuat untuk berada di situ. Foto-foto tersebut foto biasa. Sayangnya panitia mengharuskan ada foto juara dan tujuh foto nominasi di semua katagori. Ah, pesan sponsor mungkin. Hasilnya, ya tampilan yang membosankan. Mungkin terlalu jauh kalau membandingkannya dengan pemenang World Press Photo kategori yang sama, tetapi cukup fair kalau saya membandingkannya dengan katagori sport pada APFI 2009.
Secara menyeluruh pemenang APFI 2009 lebih beragam dan lebih menarik angle dan cara eksekusinya. Padahal sport adalah tempat perburuan foto yang menarik sepanjang sejarah fotojurnalisme. Kata-kata indah, dramatis, hasil dari refleks yang bagus dan skill yang tinggi dari si pemotret tak terlihat dalam katagori foto sport tahun ini. Saya merindukan foto-foto yang pernah dibuat Julian Sihombing, Tjandra Amin, Doddy Gurning, Sunyoto, juga Agus Susanto dan Peksi Cahyo.
Di luar dugaan, hasil APFI tahun ini ternyata menempatkan Fransiskus Simbolon dari Harian Kontan menyabet tiga penghargaan dalam APFI 2010 kali ini, termasuk Photo of The Year 2010. Aksi Kamisan yang direkamnya merupakan pemandangan sederhana sebagai sebuah sajian visual. Seorang polisi mendorong ibu Sumiarsih yang nekat maju ketika mobil wakil presiden Boediono hendak masuk ke istana Negara, tempat Presiden SBY berkantor.
Visual ini tidak istimewa, jauh dibanding pesaingnya saat penjurian, foto hasil jepretan fotografer Kompas Ferganata Indra Riatmoko ketika terjadi erupsi gunung Merapi. Foto dramatik dari seorang ibu yang meneteskan air mata dengan muka dan pakaiannya berselimut abu vulkanik. Foto ini istimewa, tampilan monokrom, mimik ibu yang pasrah dengan airmata menahan sedih seolah meloloskan tulang tulang orang yang melihatnya. Foto yang menyiarkan aroma kepedihan sekaligus daya tahan luar biasa seorang ibu ini layak menjadi ikon erupsi gunung Merapi. Saya sendiri pernah meyakini foto ini akan jadi photo of the year ketika melihatnya pertama kali tampil dalam sebuah lomba foto yang diselenggarakan Kedaulatan Rakyat akhir tahun lalu di Yogyakarta.
Lalu kenapa ia bisa kalah ?
Adalah Kemal Jufri yang melempar sebuah pemikiran lain ketika penjurian sedang berlangsung. Apakah kita para juri ingin menghadirkan sebuah visual saja atau sebuah visual dengan pesan? Visual dengan muatan lebih. Begitu kira-kira pemikiran yang dilontarkannya. Saya kira pengalamannya memenangkan World Press Photo Award 2011 dan kehadirannya di Amsterdam dalam diskusi para juara foto di sana mempengaruhi jalan pikirannya.
Pemikiran ini menimbulkan perdebatan di antara kami berlima. Panjang pendek, satu sama lain saling mengemukakan pendapat, saling mempengaruhi. Sebuah diskusi yang menarik (dan menyenangkan untuk diingat) mengingat foto Fransiskus ini hanya mendapat juara ke 2 dalam kategori spot news. Dalam kategori spot news fotonya kalah dari foto Susanto, Media Indonesia, yang juga berkisah soal erupsi Gunung Merapi.
Buat saya foto Fransiskus yang sederhana ini mempunyai 2 pesan sekaligus. Foto ini merangkai sebuah benang merah peristiwa Semanggi 1998, ketika anak Sumiarsih, Wawan, meninggal tertembak hari itu, sampai sekarang tahun 2011 saat kita sudah berganti presiden hingga empat kali. Bahkan akan sangat relevan, bahkan hingga (yang kita tak tahu kapan ) saat penembak itu terungkap. Perisitiwa Trisakti dan Semanggi, adalah pemicu reformasi 1998 dengan turunnya Presiden Soeharto.
Peristiwa itu mengakibatkan perubahan di semua lini kehidupan yang terjadi di Indonesia. Memang foto Fergananta secara visual jauh lebih kuat, namun peristiwa itu sudah selesai, dia tidak meninggalkan ‘sesuatu hal yang harus dipikirkan dan mungkin harus diperjuangkan’ oleh para penikmatnya. Foto Fergananta kalah dalam muatan berita.
Foto Fransiskus ini juga mengeluarkan aroma cinta, cinta ibu kepada anaknya, aroma sayang, sayang seorang ibu kepada anaknya, aroma kesetiaan, kesetiaan seorang ibu kepada perjuangan anaknya. Aroma ketekunan dari seorang ibu yang menunggui anaknya tumbuh. Selama beberapa tahun Sumiarsih (ibu dari Bernadus Irmawan, mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Atma Jaya sekaligus relawan PMI, yang tewas tertembus peluru dalam tragedi Semanggi) tidak pernah absen menggelar protes setiap hari Kamis atas kematian anaknya di tangan aparat. Hanya cinta dan kesetiaan yang bisa membuat orang tidak mundur setitik pun. Sumiarsih nyaris menghabiskan waktu waktu terakhir di kehidupannya untuk menempuh jalan panjang penegakan HAM dan keadilan bagi anaknya.
Nah ketika tersingkir, otomatis foto Fergananta tidak mendapat penghargaan apapun meskipun sebenarnya layak. Foto ini diambil para juri dari kumpulan foto storynya soal erupsi Gunung Merapi. Kumpulan fotonya, sebagai sebuah karya visual kalah menarik dibanding story yang sama hasil karya Trisnadi dari Asosiated Press. Tetapi para juri tidak mendapat hak untuk bisa memindah kategori foto para peserta saat penjurian, yang justru menjadi kelemahan banyak peserta APFI 2010.
Banyak fotografer salah memasukkan kategori untuk foto yang dilombakan. Kalau Fergananta sedikit jeli dan menyadari kelemahannya dalam pilihan foto yang dia punya, mestinya ia bisa memasukkan fotonya dalam katagori single. People in the News misalnya, bisa jadi fotonya akan menggeser foto Maman Sukarman dari Seputar Indonesia yang menjadi juara pertama.
Juga, secara personal saya angkat topi untuk foto karya Dwianto Wibowo (Tempo), storynya soal halte busway yang terabaikan dieksekusi dengan penyajian yang jeli dan indah. Matanya melihat dengan cara yang berbeda. Dwianto seolah jatuh cinta pada halte-halte yang dilupakan, seolah dia lebih peduli daripada pembuatnya atau pejabat-pejabat yang menerima kucuran duit saat pembangunannya. Mengangkat sebuah kisah soal benda mati tidak semudah membuat cerita soal makhluk hidup, tapi Dwianto tahu cara memperlakukan benda-benda yang terlupakan itu.
Yang mengejutkan buat saya adalah cover undangan APFI kali ini tidak dihias oleh foto pemenang, foto Fransiskus Simbolon yang seharusnya mempunyai hak untuk menjadi foto undangan. Setidaknya (kalo secara visual tidak layak sebagai undangan) ada foto sukarelawan saat erupi Gunung Merapi karya Susanto atau foto kakek Daeng Naba yang bersembunyi dibalik alat berat karya Maman Sukarman. Saya tidak bilang bahwa foto kategori art tidak pantas, tetapi , It’s about journalism it’s not about art. Sepertinya sponsor perhelatan kali ini memiliki kekuatan lebih hingga bisa mengatur foto yang tampil.
Mungkin Ibu Negara yang malam itu hadir, atau menkominfoTifatul Sembiring, atau hanya dayang-dayangnya saja. Buat saya sangat tidak masuk akal Ibu Negara yang memiliki begitu banyak acara sampai punya waktu mengatur undangan yang akan dicetak. Kalau teman-teman kita seringkali dihadapkan pada masalah rumit mengenai pemilihan foto terbaik untuk bisa tampil di medianya masing-masing (ini bukan curhat colongan ya, hehehe) setidaknya dalam ajang ini hal itu tidak terjadi, dengan alasan apapun. The best is the best.
Dengan menulis ini bukan berarti saya menafikan kerja keras panitia agar perhelatan ini bisa terlaksana, tetapi ada batas-batas yang mestinya tidak dilampaui agar APFI menjadi sebuah ajang lomba foto yang bebas dari segala sensor dan batasan, kecuali jurnalistik itu sendiri.
Tabik!
(Beawiharta – anggota dewan juri Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2010, staf fotografer Reuters di Jakarta.)
Beawiharta, lahir pada 21 Juli 1964 di Jember, Jawa Timur. Pernah bekerja untuk majalah Gatra pada tahun 1995 hingga tahun 1999, kemudian bergabung dengan Reuters hingga sekarang.
wah jebul rame diskusine neng kene… 😀 hehe…
tidak bisa berkomentar lebih selain mengangkat topi untuk anda sekalian …
sudah jadi fansnya Dwianto Wibowo, keren!!!
makasih atas tulisannya mas bea, selamat buat pemenang dan selamat buat seluruh panitia
@kemal jufri, Ia tak kelihatan karena sedang menikmati gudeg yu djum di sebelah selokan mataram, hehe. @thoughtsthatdance, dalam asumsi saya pesan sponsor itu ada, tapi biar yang berwenang yng menjelaskan.
Apakah benar ada pesanan sponsor sehingga batas-batas terlampaui? Pesanannya apa aja ya mas Bea?
Inspiratif!! thanks buat mas Bea dan mas Kemal…
Wah luar biasa bung Bea. Aku baru berencana untuk menulis ulasan mengenai hal yang sama di blog ini ternyata panjenengan sudah lebih dulu mengulasnya secara cemerlang. Gerak cepat ala kantor berita rupanya sudah mendarah daging dalam diri sampeyan. Syukurlah karena banyak dari pemikiranku yang juga sudah terwakili di tulisan ini. Namun ada beberapa hal yang ingin aku tambahkan. Tapi terpaksa harus menunggu beberapa hari ke depan berhubung sedang dikejar deadline. By the way, itu foto pria ganteng yang megang payung diantara puing puing kenapa waktu penjurian tidak keliatan ya. Padahal kalo waktu itu ada pasti aku usulkan untuk jadi photo of the year…:)
That’s a sharp way of thkining about it.
komentarnya kritis dan mencerahkan, foto2nya bagus2…. terima kasih mas bea dan teman2 jurnalis peserta APFI. selamat, selamat
Eka, aku ingat banget diskusi itu. Tapi hari itu memang Kemal mengingatkan hal penting itu ketika melihat foto Fransiskus yang terkesan biasa saja. Yang aku pingin tahu, kenapa Fransiskus memasukkan foto itu dalam lomba. Apa dia punya pemikiran yang sama? Atau apa yang dipikirkan ?
Kedepannya, pewarta foto sebaiknya bertanya dulu kepada yang lebih tahu soal katagorisasi fotonya sebelum submit, dan jangan dekat dekat tanggal akhir buta submit, supaya gak down lagi, heheheee
pemikiran kenapa saya mengirimkan foto aksi kamisan dalam APFI, diantaranya: mengingatkan kembali sesuatu yang kita ketahui, yang terlupakan bahkan tak terselesaikan penyelesaiannya (kasus2 pelanggaran HAM), kecintaan seorang ibu terhadap perjuangan anaknya yang menghantarkan perubahan pada era 98, kegigihan seorang ibu yang berjuang tanpa kenal takut, dan dilakukan dengan hati jantan untuk menghantarkan pesan keadilan saat iring2an mobil wakil presiden melintas. Langkah dan teriakan yang lantang mengingatkan seorang ibu akan kegigihan perjuangan anaknya yang tewas tertembak pada 13 tahun silam di depan universitas Atmajaya. Ekspresi polisi yang dilakukan dengan cara persuasif saat menangani aksi ibu sumarsih yang berusaha mendekat ke iring2an mobil wapres. Serta mengingatkan kembali akan sebuah cerita sejarah perubahan bangsa, yang dimana pada masa itu dengan darah dan air mata sejarah mengajarkan kita. Dimana kesetiaan pada perjuangan pasti akan membuahkan kemenangan, begitupun perjuangan ibu sumarsih, kesetiaannya pada perjuangan dilakukan semata untuk menebus rasa rindu, dan cinta yang akan menumbuhkan harapan-harapan baru. mungkin hampir menyerupai tapi, saya tetap kagum dan tetap semangat dalam belajar mengenal fotografi..hehe…thanks oom bea
"Adalah Kemal Jufri yang melempar sebuah pemikiran lain ketika penjurian sedang berlangsung. Apakah kita para juri ingin menghadirkan sebuah visual saja atau sebuah visual dengan pesan? Visual dengan muatan lebih. Begitu kira-kira pemikiran yang dilontarkannya. Saya kira pengalamannya memenangkan World Press Photo Award 2011 dan kehadirannya di Amsterdam dalam diskusi para juara foto di sana mempengaruhi jalan pikirannya."
Om Bea lupa ya? Tahun lalu, saat diskusi foto dengan pemenang APFI 2009, Om Bea justru yang mempertanyakan, kapan "pesan dalam foto" menjadi alasan lebih kuat dalam memenangkan foto dalam sebuah kompetisi foto di Indonesia, ketimbang "estetika". Karena bahkan para editor foto di media masing-masing masih lebih menitik beratkan pada estetika. Waktu itu, kita ngobrol tentang kenapa World Press Photo menjadikan foto adzan di atap-atap rumah sebagai pemenang. Jadi, tidak perlu berangkat ke Amsterdam untuk dapat pemahaman seperti itu kayanya, tapi untungnya dengan bang Kemal bilang begitu, para juri jadi diingatkan.
Menurut pendapatku, upaya menjadikan APFI sebagai "raport tahunan" karya pewarta foto Indonesia hanya bisa terwujud dengan banyak dukungan dari semua pihak, termasuk para editor foto.
Ke depannya, diharapkan justru para editor yang bersemangat membantu para pewarta fotonya untuk men-submit karya-karya terbaik mereka. Dengan begitu, ada komunikasi yang terjalin dengan lebih intens antara pewarta foto dan editor foto (yang dalam hal ini lebih senior dan berpengalaman) untuk kemajuan fotografi jurnalistik di Indonesia.
Sudah saatnya, komunikasi semacam ini terjalin dengan lebih baik, sehingga editor bisa bicara lebih banyak ke pewarta fotonya, ketimbang cuma nanya, "motret apa hari ini?"
Sudah saatnya, komunikasi semacam ini terjalin dengan lebih baik, sehingga editor bisa bicara lebih banyak ke pewarta fotonya, ketimbang cuma nanya, "motret apa hari ini?"
suka banget dengan ini, pemikiran yang jauh dan bisa menjadi landasan pembelajaran yang baik hingga sebuah komunikasi akan menghadirkan karya2 yang terbaik, bukan hanya di ajang lomba foto, tapi kontinuitas sehari2 melalui media masing2… salam Dwi Prasetya, Solo
bangga euy punya senior photojournalist di gatra! keren om bea artikelnya, walau cuma sebentar belajar bedah foto di majalah gatra bbrp thn lalu.. ilmunya bermanfaat banget buat saya. Terutama foto2nya, geloo keren-keren euy!!! *disempet2inambilkuncimotorlangsungmeluncurkemegaplexpengenliat fotoaslinya. Maju terus Foto Jurnalistik Indonesia 🙂
opini mas Bea benar-benar melecut. jika melihat foto-foto, baik juara dan nominasi kita melihat 'greget' yg berkurang. mungkin karena banyak foto yg 'terbuang' karena kesalahan kategori. semoga kedepan APFI makin berkualitas.
Tulisan Oom Bea ini menambah tingginya kualitas ajang APFI 2010 meski sudah purna. Analisis kritis Oom Bea dan Oom Arbain hari ini membuat sesuatu yang tersembunyi menjadi samar. Saya sangat berharap mendapat sebuah kejelasan dalam bentuk wacana positif yang membangun. Tetap tidak bisa dipungkiri dunia fotografi jurnalistik di negeri kita kini jauh semakin maju, semakin kritis, dan semakin terbuka. Selamat kepada para pemenang, panitia, peserta, praktisi, pemerhati dan sponsor dunia fotojurnalisme Indonesia.
analisa yang menarik, dan penuh pembelajaran. Dan secara pribadi sayapun menganggumi foto-foto yang menurut juri layak menang, yang dimana secara visual, foto tersebut bisa memberikan pesan moral tersendiri dan dapat menimbulkan efek dari si penikmat foto. Semoga tahun ini menjadi pelajaran untuk penyelenggaran di tahun-tahun berikutnya.
Saya membaca nada yang mirip dg tulisan Arbain R. di Kompas hari ini. Terima kasih share tulisannya. Memperkaya pengetahuan…. 🙂
Setiap lomba, setiap juri pastilah mempunyai pehaman dan pilihan sendiri. Fotojurnalistik tetaplah karya visual yang pada dirinya melekat sebuah cerita, itu sebabnya fotojurnalistik selalu harus disertai data dalam bentuk teks, Foto-foto spot news tentunya lebih lugas dan penuh drama dan mampu berbicara secara universal tanpa dibatasi bahasa. Emosinya dengan mudah mengusik kita. Foto-foto lain yang bersifat feature lain lagi, apa yang disampaikan tak selalu dekat dengan kita. Begitu juga dengan photo story (yang tidak selalu essay) rangkaian-rangkaian imaji harus saling mendukung, meskipun harus ada satu foto diantaranya yang kuat dan merupakan inti cerita, karena sekali lagi fotojurnalistik adalah visual yang berkisah. Selamat untuk pemenang tahun ini
salut mas Bea/~ smoga tidak ada lagi "pesan sponsor" di APFI tahun-tahun mendatang.
sukses terus buat PFI…
terimakasih banyak atas masukan2nya om Bea 🙂
betul sependapat dengan mas kumoro, mungkin dari juri-juri lain bisa mengeluarkan analisisnya juga
mantab om bea. jadi pingin membaca komentar dari juri-juri lain 🙂
Tulisan yg tajam dan membangun..cerita yg menarik dibalik terpilihnya foto terbaik APFI 2010, selamat buat pemenang! sukses selalu buat panitia dan PFI!
makasih pencerahannya dan cambukannya om bea
jadi penyemangat lagi neh bagi yang muda
moga makin maju foto jurnalistik indonesia