Mendung tebal mengiringi kedatangan pesawat Garuda Indonesia yang membawa saya tiba tepat waktu di Bandara Sultan Baabullah, Ternate. Penerbangan yang dimulai pada jam 1.40 pagi tadi menyisakan sedikit kantuk dan kepenatan di pinggang. Cuaca yang kurang ideal menerbitkan sebersit kekhawatiran dalam hati. Tentunya saya mengharapkan sinar matahari cerah yang akan menemani saya menjelajahi pulau di Maluku Utara ini, tetapi apa boleh dikata, saya tidak bisa mengatur cuaca, jadi nampaknya saya harus menemukan elemen-elemen lain selain matahari untuk menjadi ‘senjata’ saya mengeksplorasi tempat ini.
Ternate adalah sebuah pulau kecil yang cantik dan unik. Gunung Gamalama yang menjulang tinggi menjadi pemandangan sehari-hari. Pulau-pulau di sekitarnya seperti Pulau Tidore dan Maitara yang juga dibentuk oleh gunung berapi menunjukkan bahwa ada saatnya wilayah ini sarat dengan aktivitas vulkanik. Gunung-gunung hijau tersebut berpadu serasi dengan laut yang biru, memenyajikan pemandangan yang cantik luar biasa. Kota Ternate sendiri merupakan kota yang sedang bersolek. Infrastrukut berkembang pesat. Pusat-pusat ekonomi bertebaran di mana-mana dan kendaraan bermotor lalu-lalang tanpa henti menandakan bahwa kota ini sarat dengan semangat dan aktivitas warga.
Tidak banyak yang bisa saya lakukan pada hari ketibaan saya. Selain kantuk yang enggan pergi, mendung dan hujan yang turun secara sporadis tidak terlalu memungkinkan saya untuk menjelajahi pulau ini dengan maksimal. Sebagian besar hari saya habiskan dengan berkeliling pulau sambil mengobrol bersama Bayu Setyo Aribowo dan Zandry Aldrin dari Garuda Indonesia Branch Office Ternate. Kesempatan ini saya gunakan untuk ‘mencuri’ sedikit ilmu dari pengetahuan lokal mereka yang luas dan juga menggali informasi-informasi tambahan yang saya butuhkan untuk bercerita secara visual tentang Ternate. Selain budayanya, cerita saya tentang Ternate akan berkisar pada tiga hal, gunung, agama Islam dan sejarah. Hal-hal itu saya pikir cukup krusial untuk mengilustrasikan masyarakat Ternate dengan hanya sedikit waktu yang saya punyai.
Gunung Gamalama saya anggap punya makna tersendiri bagi orang Ternate. Ternate adalah pulau vulkanik yang dibentuk oleh Gunung Gamalama, satu dari lebih dari 100 gunung berapi aktif di Indonesia. Gunung ini menjadi latar belakang setiap kegiatan masyarakat. Kemanapun mereka pergi, gunung berapi aktif ini tidak akan pernah jauh dari pandangan. Aktivitas gunung ini juga membuat Bumi Ternate begitu kaya akan unsur hara yang membuatnya subur dan ideal untuk tumbuhnya tanaman rempah-rempah yang membuat pulau ini masyur hingga ke daratan Eropa. Hingga kini, tanah yang subur itu masih memberikan hasil melimpah yang dapat dinikmati masyarakat. Letok Maluku Utara yang hadapan langsung dengan Samudera Pasifik juga membawa hasil laut yang melimpah untuk Ternate. Berbagai jenis ikan segar dapat dengan mudah didapat dan dikonsumsi sehari-hari oleh warga. Kekayaan laut dan kesuburan tanah dari gunung seolah bertemu dan berpadu di Ternate mencurahkan limpahan rahmat bagi masyarakatnya.
Islam di Ternate mempunyai sejarah panjang. Walaupun baru mengadopsi Islam secara resmi sebagai agama dan sistem politik menjelang abad ke-15, Ternate sudah diwarnai oleh kultur Islam jauh sebelum itu karena pengaruh pedagang-pedagang Muslim dari Jawa dan Timur Tengah. Pada masa keemasannya, Kesultanan Ternate dan rivalnya, Tidore, pernah menjadi kerajaan Islam yang sangat berpengaruh di bagian timur nusantara. Pengaruh Ternate pada masa kekuasaan Sultan Baabullah bahkan terbentang hingga Mindanao dan Kepulauan Marshall di Samudera Pasifik. Hingga kini nuansa Islam masih kental mewarnai kehidupan di Ternate dimana lebih dari 90% penduduknya adalah Muslim.
Rempah-rempah juga merupakan bagian penting dari sejarah Ternate. Karena cengkeh dan pala yang tumbuh subur di Ternate dan pulau-pulau sekitarnya, bangsa-bangsa Eropa pada awal abad ke-15 rela berlayar mengelilingi dunia, saling berperang dan membunuh demi tanaman-tanaman bernilai tinggi yang konon pada masa itu hanya tumbuh di bumi Maluku. Kini sisa-sisa kejayaan rempah-rempah nusantara masih bisa kita saksikan di beberapa kawasan di Ternate dan Tidore di mana pohon pala masih bisa dengan mudah kita jumpai. Reruntuhan benteng-benteng Belanda, Portugis dan Spanyol banyak dijumpai di Ternate dan Tidore membuat imajinasi melayang ke masa lalu dan seolah-olah mengalami sendiri bagaimana kerasnya persaingan bangsa-bangsa itu dalam upaya memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku Utara.
Akhirnya dengen berbekal shot list yang saya buat dan ditambah pengetahuan ekstra yang saya dapat dari hasil pembicaraan dengan Bayu dan Zandry. Mulailah saya mengekslorasi pulau cantik ini. Cuaca yang tidak mendukung tidak mampu membendung gairah untuk melihat Ternate dari dekat. Beruntung kamera Samsung NX1 yang saya bawa mempunyai kemampuan menahan debu dan cipratan air sehingga hujan dan gerimis yang kerap turun tidak terlalu mengganggu kenyamanan saya. Ternyata, Ternate penuh dengan kejutan-kejutan kecil. Tempat ini lebih berwarna dari yang pernah saya bayangkan. Keramahan penduduknya, keanekaragaman budayanya, pesona sejarah, keindahan alam dan kelezatan kulinernya sungguh luar biasa. Hal-hal seperti ini sungguh membuat saya tersadar begitu sedikit yang saya ketahui tentang nusantara ini. Begitu kecil yang saya pahami tentang halaman rumah saya sendiri.
Sampai pada akhir perjalanan saya, beberapa hari yang saya punya terasa sangat kurang. Masih banyak yang ingin saya jelajahi, masih banyak pengetahuan yang ingin saya miliki, namun waktu juga yang harus memisahkan saya dari tempat yang asyik ini. Saya pun meninggalkan Ternate dengan mengucap janji untuk kembali. (Teks dan foto-foto: Dita Alangkara)