“Kapan ada festival Budaya?” sebuah pertanyaan yang sering datang dan pergi di saat bertemu dengan komunitas fotografi atau penggiat fotografi. Lalu bermunculanlah situs-situs yang menawarkan sebuah eksotisme tempat dan festivalnya, kemudian berbondong-bondong datang untuk mencoba merekam sebuah eksotisme yang diimpikan itu ada. Dan dibarengi dengan lomba-lomba fotografi dengan hadiah yang menggiurkan yang menawarkan sebuah eksotisme lewat fotografi.
Fenomena semacam ini semakin lekat di era fotografi modern Indonesia, mendokumentasikan sebuah eksotisme artifisial yang ditawarkan dalam sebuah festival budaya. Sering dalam sebuah percakapan saya mendengar, “ooooo, acaranya sudah tidak asli lagi, kurang bagus buat foto, banyak spanduk sponsor di jalanan, sehingga terkesan peristiwanya tidak real” atau keluhan-keluhan lain yang serupa yang seolah-olah “masyarakat” dipaksa oleh para pembuat visual ini untuk tidak beranjak ke masa depan. Akhirnya muncullah imaji-imaji fotografi yang tersaji menawarkan foto yang tidak berubah dari masa ke masa secara konteksnya.
Sebuah pertanyaan kecil dari hati saya,”mengapa fotografi Indonesia sangat lekat dengan sebuah eksotisme?” Saya tidak akan mempertanyakan apabila sebuah karya fotografi itu dilakukan oleh orang non Indonesia, sepertinya akan sangat wajar melihat Indonesia menurut apa yang ada di pikiran mereka. Namun, itu akan menjadi pertanyaan besar bila masyarakat kita melihat budaya kita juga melihat permasalahan budaya dengan titik pandang yang tidak berbeda, dan sebagai obornya fotografi melakukan usaha untuk membekukan atau “stagnasi budaya” dalam masyarakat, dengan menyajikan visual yang cenderung sama dari masa ke masa.
Indonesia, adalah bagian dari masyarakat dunia yang sangat cepat mengalami perubahan besar seiring apa yang terjadi di dunia. Di kota-kota besar masyarakat urban terus mengalami perubahan yang begitu cepat, mall-mall beton tumbuh menghimpit kampung-kampung kecil dan sekitarnya, kota-kota kecil berlomba keras untuk merebut perhatian sebagai sebuah kota “metropolitan”, masyarakat dengan akar budaya yang ada selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, namun sepertinya perubahan besar ini tidak dibarengi dengan banyak respon kritis Fotografi Indonesia dari segi konteksnya.
Terus terang ada perasaan iri dari diri saya setelah melihat sebuah buku tentang fotografi China kontemporer (Contemporary Chinese Photography, by Gu Zheng), yang lebih banyak menceritakan tentang perubahan besar atau transisi di China dan respon para fotografer dengan berbagai medium fotografinya yang cukup beragam mengkritisi perubahan yang terjadi. Sebuah buku yang membangunkan tidur saya, dan memimpikan sebuah masyarakat fotografi di Indonesia merekam dan merespon perubahan besar di masyarakatnya. Kebangkitan fotografi dari era”New Documentary photography” ke arah “Conceptual Photography”. Fotografi sebagai alat rekam yang paling canggih benar-benar dipakai untuk mengeksplorasi ide dan pemikiran tentang China yang berubah.
Akankan kita akan terus mempertahankan masyarakat untuk tetap stagnan dengan memotret konteks budaya yang tidak berubah, atau dengan fotografi kita mencoba merespon perubahan besar yang terjadi di bangsa kita? Fotografi adalah sebuah proses memilih, mengapa kita dipaksa untuk tidak memilih?
Fotografi adalah sarana paling canggih untuk menggambarkan kekinian tentang sebuah masa, dan imaji yang tersaji merupakan kajian yang menarik untuk melihat ke masa depan. Dari masa ke masa fotografi dipakai alat untuk penanda sebuah perubahan jaman, tidak hanya perubahan secara politik dan peristiwa, tetapi perubahan tentang masyarakat dan budayanya.
Tidak dapat dipungkiri, fotografi melalui media masa di Indonesia telah menunjukkan perubahan social politik dan budaya secara global, tetapi issu yang berkembang searah dengan arah politik yang berkembang, sedangkan respon kritis fotografi Indonesia secara umum tidak banyak merespons perkembangan besar yang terjadi di masyarakat secara umum, sepertinya kita abai terhadap perubahan-perubahan besar yang terjadi, ataukah memang fotografi Indonesia lebih tertarik dengan sebuah kebudayaan “stagnan” yang mereka ciptakan sendiri secara konteksnya?
Sebuah pepatah lama, dan tiba-tiba muncul saat ini juga, apakah kita akan juga “belajarlah ke negeri China untuk belajar fotografi?”
Edy Purnomo/Fotografer Equator Images, Pengajar Panna Institute of Photography
@ngindonesia: Ayo, unjuk kreasi lewat fotografi dalam #LombaFotoAstra2013 periode 11 Maret-11 Juni 2013. Info … tmi.me/RdaZ2
— Seribu Kata (@1000kata) April 5, 2013
RT @roni_az: Burn magazine calls for entries in Emerging Photographer Fund – BJP #Photography #photojournalism… fb.me/A2afymhx
— Seribu Kata (@1000kata) April 8, 2013
absolutely as if your website but you really need to look into the spelling with several within your articles. A few of them are filled together with transliteration issues i to uncover that really annoying in truth then again I most certainly will undoubtedly come back yet again.
saya rasa fotografi di Indonesia sudah berkembang pesat
agar labih maju indonesia harus lebih peka terhadap perkembangan zaman
Sebuah tulisan yang merespon artikel yang saya tulis: http://www.blog.ridzkinoviansyah.com/2013/07/07/m…
Tulisannya menginspirasi.
Foto Rony Zakaria yg pertama dipasang itu batal dipasang dalam buku foto Encounters.
Terima kasih kawan2 di Seribukata yang telah mempublish tulisan saya, juga kawan2 yang telah membacanya, terlebih lagi memberikan comment terhadap tulisan dan fenomena ini, akan sangat berharga bagi perkembangan fotografi Indonesia, yang mudah2an fotografi bisa membantu untuk tetap merawat akal sehat dan berguna bagi perkembangan peradaban manusia.
berkali-kali membaca tulisan ini.. ngalir, inspiratif, menggelitik, menantang.. tenks bang Ed..
Tulisan yang benar benar mengajar, mendidik dan menantang!
Terus”lah Menginspirasi Bang!
salam,
RY
Kita (Indonesia) diajarkan sesuatu oleh Guru, orang tua.. biasa dengan media dongeng/ text dan jarang visual dulu. Secara umum indonesia masih tuna netra visual.. kadang kita sendiri tidak mengerti atu cuek lukisan / coretan anak pada kertas, meja dinding etc, Bahaya pemerintah bila rakyat nya sadar/melek visual.. minimal kita paksa membaca/ sadar visual pada anak2.. istri, suami,pacar, teman n ??? " Menurut saya"
Pancen nyoto mas edpur ki….visioner…
Ah sedap sekali membaca ini. Seperti digelitik untuk menggeliat. Fotografi Indonesia memang sudah berubah kakak Guru….setidaknya bagi penggiat isme+Fotojurnalistik. Saya melihatnya. Tapi sulit sekali (analogi) memaksakan orang yang tidak paham dengan lukisan kontemporer kepada penikmat naturalis. Lalu dalam sebuah diskusi saya menemukan kata menarik selain "agamamu agamamu, agamaku agamaku" juga ada " Setiap isme akan menemukan komunitasnya……". Ada yang memotret dengan matanya atau mata redakturnya, dan ada yang memilih memotret pikirannya…..yang terakhir inilah yang saat ini terus berkembang di negara kita. Fotografi Merdekaisme……bukan hanya siap berubah tapi memang terus berubah.