“Disana tempat terakhir matahari terbenam di Indonesia” kata Puji, staf Garuda Indonesia di Sabang, menunjuk siluet lekukan bukit yang bertaburan cahaya jingga di seberang teluk Sabang. Sore itu kami berada di pelataran Sabang Hill, salah satu lokasi terbaik untuk melihat matahari terbenam di kota itu. Sinar senja menghilang di balik bukit saat jam di tangan saya menunjukkan pukul 18.32 WIB. Sepuluh tahun yang lalu, saya berdiri di tempat yang sama, dan masih terasa sama menikmati matahari terbenam di Sabang.
Kota Sabang adalah kota yang berada di ujung barat nusantara. Berada di Pulau Weh, kota Sabang seolah dianugerahi kemolekan alam yang melimpah. Sejarah sabang adalah sejarah bagi Indonesia. Pada masa sebelum kemerdekaan, Kota Sabang menjadi tempat singgah Belanda sebelum menuju Jakarta. Pada era tahun 1920-an, Kota Sabang sudah menjadi kota moderen dengan fasilitas pergudangan dan toko kelontong.
Sabang adalah serambi Mekah. Pada masa lalu, saat jemaah haji Indonesia berangkat menuju Mekah dengan kapal, mereka singgah di Pulau Sabang untuk pemeriksaan kesehatan sebelum berlayar jauh ke Timur Tengah.
Di masa kini, sabang adalah kota yang mempunyai potensi wisata yang sangat besar. Sabang adalah surga bagi pecinta laut. Di pulau ini banyak spot bagi para penggemar kegiatan selam dan ditambah lagi pantai berpasir putih dengan air laut yang bening sehingga membuat orang yang datang jatuh cinta.
Saya mendarat di Bandara Maimun Saleh, Sabang, dengan menunggang Pesawat Garuda Indonesia rute Medan – Sabang. Saya meluncur ke arah barat menuju ujung pulau Weh. Di tempat ini, berdiri tugu Kilometer Nol Indonesia. Tugu yang kini sedang direnovasi ini berdiri kokoh seolah menjadi penjaga ujung barat Indonesia. Wisatawan yang datang ke tugu ini bisa berfoto dengan latar belakang tugu dan pulang membawa suvenir yang unik, yaitu piagam dengan nama kita yang menjelaskan bahwa kita telah berada di ujung barat Indonesia. Saya berdiri diatas batu karang dengan hamparan laut lepas sejauh mata memandang. Saya menarik napas panjang, dan dalam hati tersenyum. Melihat keindahan itu, saya semakin mencintai Indonesia.
Usai mengunjungi Kilometer Nol Indonesia, saya bergeser ke Pantai Iboih, sebuah kawasan wisata laut yang menjadi tempat favorit turis dalam negeri dan turis asing. Di pantai berpasir putih ini kita bisa melakukan snorkeling dan melihat biota laut dengan air laut yang jernih. Sepuluh tahun lalu, saya hanya melihat beberapa wisatawan asing yang berjemur di pantai, namun sekarang, mobil travel memenuhi parkiran dan wisatawan terlihat seperti cendol di pantai.
Siapa yang tidak tergoda untuk melihat keindahan bawah laut. Saya pun meletakkan teman perjalanan saya, kamera Samsung NX1 dan gawai Samsung Galaxy Note 4. Byurrr…badan yang gerah menjadi segar terkena air laut yang hangat.
Saya singgah semalam di Kota Sabang. Hari yang menyenangkan ini saya akhiri dengan minum secangkir kopi di kedai kopi. Di kedai ini, jelas sekali terlihat budaya minum kopi telah berubah drastis. Pada kunjungan pertama saya di Sabang, hanya beberapa orang berusia paruh baya menghabiskan waktu sambil minum kopi dan berbincang-bincang. Kini, kedai kopi adalah bisnis besar. Sebuah kedai yang saya kunjungi dipenuhi ratusan remaja yang mungkin, tidak terlalu peduli dengan cita rasa kopi aceh yang istimewa, tetapi lebih senang memanfaatkan fasilitas wifi gratis untuk mengakses internet.
Penduduk Kota Sabang mayoritas beragama Islam. Seperti hal kota-kota pesisir barat Pulau Sumatera, Islam masuk melalui para pedagang Timur Tengah yang berinteraksi dengan warga lokal. Sebelum berkunjung ke Sabang, saya singgah ke Kota Sibolga. Kota kecil di pantai barat Provinsi Sumatera Utara. Kota Sibolga yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah, berjarak 341 kilometer arah barat daya Medan. Kota Sibolga pada abad ke-18 adalah salah satu kota pelabuhan penting di kawasan barat nusantara. Pelabuhan Sibolga adalah tempat transit para pedagang antarnegara untuk mengisi perbekalan sebelum melanjutkan pelayaran menuju ke kota –kota pelabuhan di pulau Jawa.
Kini, Sibolga telah bertransformasi menjadi kota kecil moderen. Pelabuhan Sibolga berubah menjadi pelabuhan penghubung pulau Sumatera dengan pulau Nias yang berjarak semalam perjalanan kapal dari Sibolga. Pusat kota Sibolga dipenuhi ruko-ruko yang menjual segala kebutuhan warga. Sama seperti kota kecil yang tidak banyak mempunyai potensi wilayah, Sibolga berupaya menawarkan diri sebagai kota jasa.
Sejarah Islam di nusantara berawal dari Sibolga, atau lebih tepatnya di Barus, sebuah kota kecil yang berjarak dua jam perjalanan dari Sibolga. Barus menjadi persinggahan para aulia (pembawa syiar Islam dari Timur Tingah). Menurut cerita, pada abad ke 5 mereka telah ikut dalam pelayaran perdagangan dan menetap di Barus. Kehadiran mereka diterima oleh warga setempat dan bahkan ketika mereka wafat mereka dimakamkan di tempat yang istimewa. Saya berkunjung ke salah satu makam aulia, yaitu makam Syeh Machmud yang berada di puncak bukit. Perjalanan naik tangga menuju puncak bukit lumayan menguras nafas. Belum lagi terik matahari yang membuat keringat bercucuran. Di atas bukit, di samping makam sepanjang 7 meter, saya bisa melihat pemandangan kota Barus dan laut barat Sumatera. Hijau hamparan sawah berpadu dengan biru air laut dan putih awan. Saya panjatkan doa, dan mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas keindahan yang disajikan.
Perjalanan ke pesisir barat nusantara kali ini sangat berkesan bagi saya. Keindahan alam, sejarah, dan keramahan khas bangsa Indonesia membuat saya semakin mencintai bumi pertiwi. Sibolga dan Sabang adalah permata di ujung barat nusantara.
Sore itu hujan deras membasuh Sibolga, tapi rasanya Sang Pencipta masih berbaik hati untuk memberi kesempatan saya untuk menikmati matahari terbenam di Pantai Sibolga. Disini, ratusan warga Sibolga duduk di sepanjang pantai dan menyaksikan sang matahari menghilang di cakrawala. (Yuniadhi Agung)
————————–
Yuniadhi Agung adalah co-founder Seribu Kata. Profil lengkapnya bisa dilihat di http://www.seribukata.com/about/
Keren banget pengen banget bisa bikin tulisan se keren dan se elok ini
Keren banget… Pengen banget bisa nulis sedetail Dan seelok ini,
Thx apresiasinya Kang Ardani.
Hey, that’s poflewur. Thanks for the news.