Oleh: Mast Irham
Melihat karya foto para pewarta, ibarat mengintip rangkaian sejarah. Rekaman berbagai peristiwa ditarik kembali dari memori kita lewat jendela berbentuk bingkai-bingkai foto.
Pewarta foto bukan sekedar sebuah profesi. Mereka tak bekerja semata menjalankan penugasan dari kantor, tapi juga menjadi ‘mata’ dan ‘mulut’ khalayak ramai. Bukan tugas yang ringan. Sebuah foto terkadang harus diperoleh melalui proses yang tak mudah. Bertahan dari gas air mata di tengah demo, atau menunggu berjam-jam untuk satu buah frame foto halaman depan.
Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jakarta yang menaungi ratusan pewarta foto di Jakarta menampilkan rekaman-rekaman peristiwa karya para pewarta foto dalam bentuk pameran berjudul “Rekam Jakarta”. Pameran yang digelar di Taman Menteng, Jakarta Pusat itu, menampilkan 105 fotojurnalistik karya 93 pewarta foto, berlangsung dari 15 Agustus – 1 September 2019. Kali ini, Franciscus Simbolon, Ismar Patrizki dan Yuniadhi Agung bertindak sebagai kurator pameran.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi di Jakarta disajikan. Bukan sebagai bagian dari halaman koran atau laman media daring (online), namun lebih sebagai karya personal sang pewarta. Keriaan Asian Games, hangatnya kontestasi pemilu hingga kehidupan sehari-hari kota Jakarta yang tak pernah habis, tampak sangat mencuri perhatian di antara pemandangan Taman Menteng yang hijau.
Beberapa karya yang ditampilkan terlihat sangat kuat secara pesan. Salah satunya foto karya Immanuel Antonius, menampilkan sosok Suster Edita yang bergandeng tangan dengan sang sahabat, Ela Fauziah saat menyeberangi Jalan Lenteng Agung Raya.
Foto karya Immanuel ini menjadi penting di tengah maraknya isu perbedaan antarwarga yang makin tajam. Sang pewarta dengan lugas menampikan isu kebersamaan dalam perbedaan, visual yang seketika akan menyejukkan hati dan mendinginkan kepala siapapun yang melihatnya. Ketika membahas perbedaan tak pernah ada habisnya, menampilkan persamaan menjadi cara yang paling bermartabat. Dalam konteks itu, fotografi digunakan oleh pewarta sebagai cara untuk menyampaikan sebuah pesan. Sisi artistik memunculkan ketertarikan yang membuat orang melihat, kemudian membaca pesan yang terkandung di dalamnya.
Namun tugas para pewarta tidak berhenti pada bagaimana membuat sebuah foto menjadi menarik. Lebih dari itu adalah bagaimana sebuah pesan, bisa tersampaikan secara jelas kepada khalayak.
Menggelar pameran foto di tengah taman kota, menjadi sebuah cara yang diambil PFI Jakarta untuk lebih mendekat kepada masyarakat. Di tengah perkembangan teknologi yang makin canggih, internet yang cepat membuat orang semakin mudah membagikan gambar. Dunia kita pun menjadi semakin visual. Di jagad maya (yang kemudian menjadi nyata) berseliweran foto-foto dengan beragam kualitas, bagus – jelek, asli – palsu. Foto lantas tak lagi menjadi milik fotografer profesional semata, tapi telah menjadi milik banyak orang, semua orang.
Pada kondisi seperti ini, karya-karya para pewarta foto menjadi oase yang menyejukkan, ibarat sebuah kompas yang menunjukkan jalan. Karena pewarta, bekerja dengan standar etika jurnalistik dan batasan-batasan yang jelas. Dalam jurnalistik, tak ada tempat untuk kebohongan.
Selamat berpameran PFI Jakarta!