Dalam perjalanan saya sebagai wartawan foto sejak era 90-an, ada suatu masa di mana saya sama sekali tidak bisa memotret. Selama lebih dari 3 bulan pada tahun 2009 saya sama sekali tidak memegang kamera karena terkena penyakit HNP (hernia nukleus pulposus), istilah awamnya ‘saraf terjepit’, ada dua ruas bantalan tulang belakang saya yang pecah dan menjepit saraf di dalamnya hingga mati, dan lumpuhlah satu kaki saya.
Banyak dokter spesialis tulang belakang di berbagai rumah sakit terkenal yang menyarankan operasi untuk memasukkan bantalan titanium di tulang belakang dengan resiko kaki satunya bisa lumpuh juga. Dunia terasa gelap, saya merasa tidak akan pernah bisa memotret lagi hingga saya bertemu dengan dokter atlet bulutangkis nasional bernama Michael Triamto. Dokter Triamto menjelaskan dengan detail apa itu HNP, kenapa bisa terjadi, apa hubungannya dengan profesi saya dan bagaimana cara penyembuhannya. Alhasil, saya memilih penyembuhan tanpa operasi. Sebuah treatment khusus harus saya lakoni, termasuk berenang rutin empat kali seminggu. Lumayan menyenangkan karena kebetulan saya pernah menjadi atlet polo air dan selam. Di bulan ke-4 saya mulai bisa belajar lagi untuk memegang kamera dengan tertatih-tatih mengatur keseimbangan.
Ternyata HNP adalah penyakit yang umum hinggap di kalangan wartawan foto. Problem utamanya adalah beban yang mesti kita terima pada saat memotret. Berjalan kaki membawa dua bodi kamera, beberapa lensa sekaligus, membungkuk ketika memotret, menjulurkan tangan untuk mencapai sudut tinggi, semua mempengaruhi tulang belakang. Sekedar mengingatkan, membawa tas kamera yang berat naik sepeda motor dan melewati polisi tidur juga dapat meningkatkan resiko terkena HNP. Be aware buat yang belum mengalaminya. Sejak saat itu saya selalu berusaha mencari kamera dengan berat yang lebih ringan dari DSLR profesional yang biasa saya pakai.
Pada tahun 2016 ini, saya berkesempatan menjajal dua kamera baru. Yang pertama adalah Canon 1DX MkII yang luar biasa. Tidak ada sedikitpun keraguan memakainya karena kamera seri inilah yang sehari-hari saya gunakan. Pengoperasian dan bentuknya hampir identik. Tetapi buat saya, berat kamera menjadi masalah sejak peristiwa tahun 2009 itu. Memotret jadi tidak lagi menyenangkan dan hanyalah sekedar pekerjaan, not fun anymore.
Beberapa bulan kemudian melalui teman saya Mas Gathot Subroto, saya juga mendapatkan kesempatan untuk mencoba Fujifilm X-T2, kamera mirrorless terbaru keluaran Fuji. Yang menarik buat saya, kamera ini ringan dan lebih kecil dibanding 1DX. Awalnya saya agak meragukan kemampuannya mengatasi shutter lag. Shutter lag adalah problem utama dari banyak kamera yang ada di pasaran bagi wartawan foto seperti saya, karena saya memerlukan kamera yang bisa bereaksi secepat mungkin untuk menangkap momen. Kredo penyair Italia Cesare Pavese, “we do not remember days, we remember moments” mungkin adalah kata-kata yang bisa mendeskripsikan profesi saya.
Berbekal X-T2, bersama beberapa teman saya melakukan perjalanan ke beberapa tempat di Indonesia. Memotret anak-anak berlatih pacuan kuda di Pulau Sumba, upacara Yadnya Kasada di Gunung Bromo, hingga menjelajah Taman Nasional Komodo di atas kapal phinisi.
Bagaimana hasilnya?
Yang pasti beratnya terasa jauh lebih ringan. Selamat tinggal kamera besar dan berat yang membuat tulang belakang bermasalah. Shutter lag-pun tidak terasa.
Kamera ini bisa digeber hingga 8 fps pada dengan shutter mekanis dan bisa naik hingga 11 fps dengan menggunakan booster grip. Angka itu bahkan bisa menjadi 14 fps kalau kita memakai pilihan shutter elektronik yang tidak tidak bersuara ketika tombol rana ditekan. Dengan format JPEG, saya menekan rana hingga terekam lebih dari 80 frame dan kamera ini masih belum berhenti. Kemampuan burst yang sangat mengesankan.
Memotret olahraga juga bukanl masalah buat X-T2 karena Fuji melengkapinya dengan sistem auto focus yang superior. Kemampuannya setingkat dengan kamera-kamera DSLR terbaru yang pernah saya coba.
Faktor ergonomi-pun cukup memuaskan. Memegang kamera ini dalam jangka waktu lama tidak terasa melelahkan karena genggamannya terasa pas dengan ukuran tangan orang Asia.
Bagaimana dengan kontrolnya? Sekilas semua fungsi tombolnya mirip Nikon FM2 yang legendaris. Sangat mudah dioperasikan dan kita tidak perlu berpikir keras untuk menemukan fungsi-fungsi yang kita mau. Setelah sekian lama kamera-kamera modern ‘menyembunyikan’ fungsinya-fungsinya dalam setumpuk pilihan menu, XT2 ini kembali ke model kamera awal, membuat semua kontrol utama bisa dilihat mata. Beberapa control dial terlihat jelas di bodinya: pilihan ISO, kecepatan, diafragma dan kompensasi eksposur. Juga pilihan mode metering dan drive, semua ada di bagian luar body. Ingin memakai full manual ataupun memanfaatkan mode auto, semua difasilitasi dengan amat mudah di sini.
Bagaimana dengan warna? Buat saya ini yang luar biasa. Fujifilm mengembalikan warna-warna idaman masa lalu, yang cuma bisa dijumpai dalam warna film positif, ke dalam kamera modern. Reproduksi warna file jpeg kamera ini bisa dipilih melalui beberapa mode warna. Di antara pilihan-pilihan itu, yang paling saya sukai adalah setting warna slide Fuji jadul: Velvia, Astia, dan Provia. Kredo Fujifilm “seindah warna aslinya” seolah kembali lagi. Keharusan memakai JPEG dalam pekerjaan saya di kantor berita Reuters membuat saya tetap memakai format ini dalam pemotretan, dan dengan X-T2 hasilnya tetap indah tanpa harus diolah dengan photoshop.
Sebagai wartawan, kecepatan pengiriman gambar juga jadi faktor penting. Yang menyenangkan, kamera X-T2 ini sudah dilengkapi dengan aplikasi yang kompatibel dengan sistem Android dan IOS yang memudahkan kita menransfer foto kita dari kamera ke HP tanpa memerlukan laptop. Aplikasi ini juga bisa digunakan sebagai remote cotrol yang bisa dipakai untuk mengakses semua kontrol metering cahaya serta pilihan fokus dari HP, sederhana banget.
Satu lagi yang keren dari kamera ini adalah bodinya yang terbuat dari magnesium alloy dan dibungkus dengan seal yang membuatnya weather resistant dan dapat dibawa kemana-mana dalam segala cuaca. Kamera yang cantik tapi tidak manja.
Saya bukan ahli dalam hal teknis seperti rekan saya Mas Haryanto Devcom yang bisa mengulik kamera ini sedemikian detail dalam memotret landscape dengan hasil yang luar biasa. Saya praktisi murni jalanan, sehingga buat saya nilai-nilai yang saya dapat adalah jika anda suka memotret kehidupan manusia, termasuk street photography, jurnalistik, olahraga, fashion, dan landscape tanpa mau direpotkan dengan post-processing yang rumit, X-T2 adalah jagonya. Atau jika ada anda seperti saya, yang selalu mencari feeling dalam warna-warna foto yang akan dihasilkan, Kamera ini sangat saya rekomendasikan.
Dalam sebuah workshop tentang kamera mirrorless di tahun 2011, saya pernah berkata “kamera mirrorless adalah kamera masa depan. Hanya soal waktu saja orang akan beralih dari DSLR ke jenis kamera ini.”
Saya kira, saat itu sudah datang.
(Teks dan foto oleh Beawiharta)