Oleh: Muhammad Adimaja
Dalam skala global, diperkirakan jumlah sampah elektronik di tahun 2018 akan mencapai 49,8 juta ton dengan tingkat pertumbuhan 4%-5% per tahunnya. Data ini diperoleh berdasarkan penelitian United Nations University. Sebagai pasar dan pusat industri terbesar dalam sektor barang elektronik, Asia menjadi penyumbang sampah elektronik terbesar dalam rentang 2010-2015.
Sampah elektronik tidak dapat disepelekan. Jakarta, sebagai kota Megapolitan, tumbuh pesat dengan gedung perkantoran yang membutuhkan fasilitas barang elektronik, penambahan karyawan, serta sikap konsumtif masyarakatnya yang selalu ingin memiliki produk elektronik baru. Tanpa disadari tiga faktor tersebut telah menimbulkan masalah baru, yaitu makin bertambahnya penggunaan barang elektronik yang tentu akan menambah sampah atau limbah dari barang itu sendiri.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mencatat 2,87 ton sampah elektronik telah dikumpulkan dalam waktu 6 bulan. Sampah tersebut dikirim untuk didaur ulang atau dimusnahkan. Namun, angka ini belum termasuk yang ada di pembuangan sampah dan pengepul. Sampah elektronik yang berada di pembuangan sampah dan pengepul memunculkan para penambang kota atau pencari sampah elektronik (e-Waste). Sampah elektronik memiliki beberapa substansi seperti metal berharga, racun, dan plastik. Metal berharga jika diolah dengan baik akan memiliki nilai ekonomis menjadi perak, platina, dan emas. Akan tetapi, substansi lainnya yang tidak berharga akan dapat membahayakan lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Substansi dengan kandungan emas menjadi penggerak utama para penambang kota untuk mencari sampah elektronik seperti televisi, ponsel dan perangkat keras pada komputer. Emas memang dikenal sebagai konduktor elektrik yang baik terutama bagi perangkat bertegangan rendah atau arus rendah. Bila kita mengacu pada laporan Wired, satu unit ponsel rata-rata mengandung 0,2 gram emas. Kandungan emas pada ponsel terdapat dalam kartu SIM, papan logic, dan komponen-komponen yang berada di balik layar LCD.
Seorang penambang kota di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, melakukan penambangan dengan mencari di pembuangan sampah, lalu ikut dalam lelang barang-barang elektronik yang dijual oleh perusahaan. Setelah itu ia akan memisahkan komponen yang dapat diambil seperti bagian substansi metal yang berharga. Berbeda dengan penambang emas pada umumnya, untuk mendapatkan emas murni 99,9% dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
Tahapannya mulai dari proses pembakaran untuk memisahkan substansi yang tidak terpakai, proses peleburan, dan yang terakhir adalah proses pemurnian untuk menghasilkan 99,9% emas murni. Selain itu, proses ini cukup berbahaya karena melibatkan penggunaan berbagai cairan kimia seperti boraks, air keras, klorida dan hidrogen periksoda yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Emas murni tersebut kemudian diolah menjadi berbagai perhiasan.
Darmin (bukan nama sebenarnya), salah satu pengolah emas dari limbah elektronik di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, memaparkan walau berasal dari sampah elektronik, emas pada akhirnya dapat menjadi benda yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi hingga ratusan juta rupiah. Tentu saja nilainya juga tergantung seberapa besar modal untuk membeli bahan baku sampah elektronik itu sendiri. Semakin banyak komponen sampah elektronik yang diolah, maka semakin berat pula emas yang bisa dihasilkan.
Muhammad Adimaja
Muhammad Adimaja atau ‘ Adicumi’ saat ini bekerja sebagai pewarta foto di kantor
berita ANTARA. Selain meraih sejumlah penghargaan fotografi, Adicumi juga sering
terlibat dalam beberapa pameran fotografi, di antaranya: ‘Kilas Balik ANTARA’,
‘Pameran Foto Dua Tahun Kinerja Presiden Jokowi’ di Museum Bank Mandiri, hingga
mengikuti Festival Pasar Hamburg di Messehalle A2, Lagerstrasse, Jerman. Di tahun
2018, Adicumi meluncurkan buku foto pertamanya yang berjudul “SOUTH” di GueAri
Galeri, Pasar Santa, Jakarta.