Sebuah adegan pertarungan yang liar dan tanpa teknik terlihat diatas sebuah panggung bambu berukuran 4×8 meter yang digelar diatas lapangan pondok pesantren Lirboyo,Kediri. Adegan adu jotos antara dua pesilat penuh sorak sorai ribuan penonton. Adu jotos layaknya tontonan tarung bebas ditelevisi ini adalah sebuah pertandingan beladiri yang di kenal dengan nama tarung bebas Pencak Dor.
Pertandingan silat ini benar-benar bebas alias para petarung diperkenankan menggunakan keahlian bela diri masing-masing untuk menjatuhkan lawan. Pukulan, tendangan, pitingan hingga membanting lawan diperkenankan dalam pertarungan ini selama tidak mengancam keselamatan jiwa. Para petarung pun bebas mengeluarkan jurus yang dimiliki, mulai dari karate, judo, pencak, hingga tinju namun tidak diperboleh membawa senjata jenis apapun. Penamaan pencak dor karena saat berlangsungnya pertarungan iringan musik tanjidor menjadi musik penyemangat para petarung.
Ajang tarung bebas ini awalnya di inisiasi oleh almarhum KH. Maksum Jauhari, pengasuh Pondok pesantren Lirboyo, Kediri, saat itu. Ajang tarung bebas ini diselenggarakan lantaran kegelisahan Gus Maksum atas sering maraknya aksi perkelahian antar remaja di Kediri kala itu. Tak jarang dari perkelahian tersebut menimbulkan korban, sifat arogan pemuda yang sulit terkontrol menjadi salah satu penyebabnya. Sejalan dengan makin maraknya aksi tersebut, maka Gus Maksum mempunyai ide adanya suatu arena untuk bertarung satu lawan satu dengan fair.
Pencak Dor ini adalah sebuah tradisi yang berkembang dikalangan Pesantren Mataraman, yaitu di kawasan Kediri, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung dan Blitar yang dalam pendidikan pesatrennya juga diajarkan seni beladiri. Saat gelaran pencak dor, pesantren pesantren di kawasan ini akan mengirimkan santrinya untuk berlaga di atas ring pencak dor.
Meski tarung bebas, namun keselamatan tetaplah nomor satu. Salah satunya untuk menjaga keselamatan para peserta, setiap pertandingan dikawal dua orang wasit yang memiliki kemampuan pencak silat tinggi. Tugas mereka adalah melerai mereka yang bertanding jika kondisi tak memungkinkan untuk dilanjutkan pertarungan. Para wasit benar-benar-benar harus militan, sebab para petarung bebas mengeluarkan jurus yang dimiliki, mulai dari pencak, tinju , karate hingga judo. Para pendekar menggunakan keahlian bela diri masing-masing untuk menjatuhkan lawan.
Bicara tentang keselamatan, memotret/meliput pencak dor pun juga perlu memperhitungkan keselamatan. Kalimat terkenal Robert Capa, “Jika gambar anda tidak cukup baik, anda tidak cukup dekat.” (If your pictures aren’t good enough, you’re not close enough),menurut saya kurang tepat diterapkan saat memotret pencak dor. Dua sudut ring, di sesaki sejumlah calon petarung yang menunggu giliran bertarung, dua sudut ring yang lain ada beberapa panitia pertandingan. Dengan arah pertarungan yang tidak terprediksi akan dominan di sudut mana dan gerakan agresif petarung , berada langsung diatas ring bukan opsi terbaik. Dibawah ring lebih tidak mungkin, terlalu tinggi bagi saya yang berpostur imut J. Ribuan penonton di sekitar ring tidak ingin terhalang pandangannya ke titik pertarungan, botol minuman, sandal jepit bahkan nasi bungkus akan melayang mengenai siapapun yang menggangu pandangan. Benar benar ga aman memotret. Tempat paling aman adalah,panggung kecil di dua sudut ring dengan posisi lebih tinggi dari ring yang disediakan oleh panitian untuk memotret.
Yang unik dari tarung bebas pencak dor ini adalah tidak adanya pemenang dan tidak ada hadiah. Pertandingan hanya dibatasi selama tiga ronde. Saat tiga ronde ini habis pertandingan di hentikan dan petarung bersalaman. Nilai silaturahmi dan persahabatan menjadi tujuan utama pencak dor. Usai pertandingan para petarung,lawan dan kawan akan kembali berbaur dan melupakan pertandingan sambil menyantap gule kambing yang menjadi ‘hadiah’ bagi para petarung usai saling pukul. Semboyan ‘Di Atas Lawan, Dibawah Kawan’,menjadi ungkapan sakti para pesilat untuk menghentikan perselisihan begitu pertarung selesai. (Fully Syafi)