Sebuah pameran fotografi yang menyenangkan sedang berlangsung di Rumah Maen, jalan Agus Salim 76, Jakarta. Pameran 68 karya fotografi dari empat fotografer ini hanya berlangsung hingga 16 Oktober 2016 mendatang. Foto-foto ini dipilih dari koleksi yang dibuat sejak tahun 1988, foto Mick Jagger karya Jay Subiakto, hingga karya terbaru Oscar Motuloh yang dipajang di atas kolam ikan yang dibuat tahun 2016.
Pameran dari empat fotografer avant garde Indonesia ini dipersiapkan dengan sangat matang. Pameran ini menjawab tantangan jaman, menggabungkan keagungan fotografi masa lampau dengan kecanggihan gadget serta hiruk pikuk sosial media. Atmosfer Rumah Maen disiapkan untuk menggiring penikmat foto hinga mereka memasuki alam rasa pada tingkat tertentu. Ruang tamunya memajang sebuah tulisan perkenalan apa itu Calibre Indonesia, beberapa panduan, serta sebuah arahan agar kita mengunduh aplikasi calibre Indonesia dari google play atau pun apple store. Setelah menghabiskan sajian di ruang tamu itu kita akan merasa memasuki atmosfer berbeda, yang akan membuat kita merasa menjadi siap untuk menikmati karya karya personal di dalamnya.
Aplikasi calibre diawali dengan scan QR code, yang ketika kita aplikasikan pada salah satu foto ia akan memberikan banyak informasi soal foto yang kita lihat , latar belakang pembuatannya, siapa pemiliknya, serta juga berapa harganya. Aplikasi yang digagas oleh Howard Brawidjaya ini merupakan platform fotografi orisinal dan tersertifikasi. Jadi akan terekam siapa-siapa yang sudah membeli dan memiliki karya-karya fotografi di dalamnya. Ini merupakan bentuk lain dari perlindungan hak cipta, yang pada jaman digital saat ini, yang sering dikeluhkan fotografer ketika ingin melindungi ciptaannya.
Pameran ini diciptakan untuk dinikmati dan sekaligus dimiliki. Foto-foto pada pameran ini dijual dengan harga bervariasi, dari 350 ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah. Foto Jay Subiakto berjudul Stone Temple Pilot yang dicetak di atas kayu dijual dengan harga 32 juta rupiah.
Setelah menikmati beberapa ruang yang memajang karya karya foto mereka berempat, naiklah ke lantai 2, tempat berbagai karya foto itu diaplikasikan dalam interior sebuah rumah, sebagai hiasan kamar tidur, tirai kamar mandi, pojok ruang rias, serta hiasan kolam ikan. Dan, jangan lupa masuklah ke dalam ruang multimedia– matikan smartphonemu, tutuplah tirainya—dan nikmatilah isinya.
Bagaimana cara Fanny Oktavianus dapetin cewek?
Fanny: Kenapa pertanyaan begitu, wkwkwkw, gak bisa, gue itu introvert bro, wkwkwkw
Anjing/Kucing?
John Gocin Suryaatmadja: Anjing bro, pasti
Cinta?
Oscar Motuloh: Cinta itu cuma lima huruf gak ada artinya apa apa, kikikiikiikkkk
Buku favorit?
Jay Subiakto: Tan Malaka. Kenapa favorit? Karena saya baca berkali kali, saya masih gak ngerti
Setelah menjelajahi berbagai ruangan di Rumah Maen itu, terasalah bahwa mereka bukan menyajikan foto-foto yang seperti kita kenal di lembar-lembar koran, halaman-halaman instagram, slide-show foto, ataupun berbagai halaman sosmed yang lagi ngehits. Pameran ini mengembalikan keagungan foto, mengembalikan rasa, menyajikan karya seni untuk dinikmati (bukan dilihat) secara personal.
Mereka ber-4 menyajikan apa yang saya sebut sebagai image, imaji yang berkelebat dalam ruang rasa, yang ketika kita meninggalkan pameran itu, imaji-imaji itu masih tertinggal dalam ruang bayang kita, samar … Mirip seperti apa yang dikatakan Jay Subiakto, fotografi itu sesuatu yang peka, menyenangkan, tidak tehnis, dan sama sekali bebas
Mereka berempat bukan membuat foto, mereka membuat image.
Selamat menikmati
NB, Oh ya, alangkah baiknya kalau pameran ini juga diselenggarakan di Singapura–tempat banyak penikmat dan pengkoleksi karya seni tinggal.
Beawiharta, Reuters Photographer, Member of 1000kata