Telepon pintar sedang berkibar. Smartphone menjadi penanda eksistensi penggunanya. Tak terkecuali Anda, penikmat aneka pertunjukan seni, baik pop maupun kontemporer. Berhati-hatilah selalu dalam menggunakan piranti cerdas di sebuah gedung pertunjukan. Piranti Anda bisa mengganggu orang yang duduk di kiri, kanan dan/atau belakang.
Sebaiknya, matikan fasilitas koneksi mobile, misalnya mengaktifkan fasilitas airplane mode, karena gelombang yang ditimbulkan dari koneksi telepon seluler membuat tata suara ruang pertunjukan kacau. Supaya tidak menimbulkan suara berisik ketika memotret dengan smartphone, disarankan menggunakan silent mode.
Jika semua sudah dipastikan aman, mari kita bicara tips dan trik memotret suasana panggung pertunjukan yang berintesitas cahaya rendah. Foto 1 menunjukkan antusiasme penonton musik metal untuk mengabadikan penampilan Behemoth, sebuah band supercadas asal Polandia di event Rock in Solo, 3 November. Begitu berharganya ‘pertemuan’ dengan artis idola sehingga mereka begitu ingin mendokumentasikannya.
Hanya saja, kebanyakan mereka lupa kemampuan kamera dalam melakukan proses perekaman foto. Bisa jadi, foto mereka akan goyang atau blur lantaran dinamika gerak sang artis idola. Apalagi jika setting kameranya dipilih night mode, dimana otak mesin kamera akan memerintahkan pelambatan proses buka-tutup rana seperti pada halnya kamera single reflex. Padahal, dengan kecepatan setara 1/60 detik atau lebih lambat, potensi blur-nya akan besar.
Dalam dua foto Solo Batik Carnival (2011), saya menggunakan BlackBerry Curve atau Gemini 8520 yang belum memiliki aneka pilihan fasilitas. Bahkan, flash pun tak ada. Maka, yang saya perlukan hanyalah mengenali kemampuan perekaman dan kwalitas optik lensa bawaannya. Jika lensa mengarah ke sumber cahaya, bisa dipastikan gambar akan njeblug alias rusak, terutama pada titik cahaya terkuat.
Pada foto 2, saya merekam saat peserta karnaval sedang dalam posisi berhenti, namun selalu ada gerakan dinamis supaya penampilan tidak monoton. Maka, di situ saya memprediksi efek panning pada selendang yang digerakkan. Saya memperkirakan proses buka-tutup akan terjadi saat pergantian gerak, yang meski hanya sepersekian detik, akan bisa terekam beku. Berbeda dengan foto 3, dimana saya merekam subyek yang benar-benar berhenti, diam karena berpose.
Contoh bocornya cahaya, memang bisa mengejutkan seperti tampak pada foto 4, seperti ketika Glenn Fredly saya potret di sela-sela rekaman di Studio Lokananta. Simak ruang tajam yang lebar alias flat pada kamera bawaan BlackBerry Curve ini, sehingga baik Glenn sebagai subyek utama maupun cangkir dan kacamata yang bisa tampak jelas (fokus).
Karakter ruang tajam yang ‘random’ alias melebar juga bisa kita amati pada foto 5, upacara pembukaan ASEAN Paragames di Solo (2011) yang saya rekam dengan menggunakan tablet HTC Flyer. Semua subyek foto tampak jelas, alias karakter lensanya mirip dengan BlackBerry Curve. Kemiripan lainnya, selalu rusak gambarnya jika berhadapan dengan sumber cahaya, termasuk seperti munculnya spektrum warna dari sinar putih pada foto Glenn Fredly.
Berbeda dengan BlackBerry dan HTC, kualitas lensa Zeiss-nya Lumia 720 jauh lebih bagus. Bisa dibilang, hasil perekaman foto bisa mendekati persamaan dengan pemotretan menggunakan kamera DSLR seperti Canon EOS 10D yang biasa saya gunakan, dulu.
Hanya saja, kekurangan dari Lumia 720, baik menggunakan aplikasi kamera bawaan maupun menggunakan ProShot, adalah sempitnya ruang tajam. Padahal, bukaan diafragma bawaan kamera ada di f/1.9 yang bisa dibilang sangat sempit. Ketika digunakan untuk mempotret panggung seperti pada foto 6, maka fokus hanya pada satu titik yang dituju (dalam foto ini, fokus diarahkan ke payung). Akibatnya, semakin ke kiri atau ke kanan dari payung, gambar terlihat pudar atau blur.
Secara warna, kemampuan Lumia 720 dalam merekam warna dan cahaya tidak bisa diragukan. Itu lantaran optik yang digunakannya pada sama dengan yang biasa dipakai untuk kamera-kamera video dan foto profesional. Kelebihannya, tentu pada integrasi software yang dikembangkan oleh Nokia dan Microsoft pada seri Lumia.
Beruntung, kekecewaan saya memotret dengan aplikasi bawaan Lumia dan ProShot terobati dengan aplikasi yang disediakan pihak ketiga yang bisa dipakai di WindowsPhone, yakni HDR Photo Camera. Dengan aplikasi berbayar ini, saya bisa merekam agak utuh, dengan depth of field yang lebar, sehingga hasil dokumentasi bisa dinikmati secara utuh, seperti ditunjukkan melaui foto 7 dan foto 8. Saya merekam penampilan Behemoth, grup band asal Polandia itu dengan menggunakan aplikasi HDR Photo Camera. Kelemahannya, selain tak ada fasilitas continuous, proses penyimpanan (loading) sangat lambat, sekira tiga hingga lima detik!
Khusus untuk pendokumentasian peristiwa panggung seni pertunjukan, ruang tajam yang lebar akan member gambaran utuh sebuah adegan. Beda dengan foto berita, yang mungkin lebih memerlukan ruang tajam sempit untuk menghasilkan penekanan pada sasaran bidik, sehingga hasil foto tampak kuat, lebih ‘bercerita’. Dan, khusus untuk keperluan foto berita, aplikasi ProShot akan mengasyikkan, sebab bisa dioperasikan continuous mode yang bisa diatur antara 2-5 frame per detik!
Nah, jika Anda biasa menonton peristiwa seni pertunjukan, terutama di gedung-gedung kesenian seperti yang ada di Taman Budaya se-Indonesia, atau di Gedung Kesenian Jakarta, misalnya, silakan Anda mengoptimalkan penggunaan smartphone Anda. Hanya saja, yang perlu diperhatikan selain yang saya sebut di dua paragraf awal adalah, layar LCD Anda akan memancarkan cahaya yang sangat kuat, meski sudah brightness mode sudah diarahkan ke posisi low. Cahaya inilah yang bakal berpotensi mengganggu penikmat di kanan-kiri-belakang Anda. Lapisi screen guard hitam jika Anda ingin menunjukkan toleransi kepada penonton lainnya.
Sebelum Anda mencobanya, perlu saya sampaikan bahwa semua foto yang ditampilkan di sini tak ada yang melalui proses pengolahan apapun, alias semua hasil pemotretan murni semurni-murninya. Editing yang digunakan hanya cropping semata!
Blontank Poer, belajar fotografi secara otodidak dan menekuni fotografi panggung sejak 1993. Aktif melakukan pendokumentasian berbagai pertunjukan di Solo, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Pada 1999 pameran tunggal foto seni pertunjukan di Jakarta, Bandung dan Solo bekerja sama dengan Ford Foundation, dan pada 2009 melakukan pameran foto dokumentasi tari di Goethe Institut, Jakarta.
One comment
Pingback: Motret Pertunjukan Pakai Lumia | Blontank Poer