Bagi saya, tak ada kegiatan fotografi yang keasyikannya melebihi merekam peristiwa di atas panggung seni pertunjukan. Menyangga kamera agar tidak goyang selama empat detik sebelum rana menutup kembali, hanyalah salah satu di antara sekian banyak keasyikannya. Kebetulan, saya paling risih membawa tripod atau monopod.
Fotografi panggung, begitu saya biasa menyebutnya, adalah aktivitas merekam aktivitas seni, terutama di sebuah panggung pertunjukan, baik di dalam gedung (indoor) maupun di luar (outdoor). Asal tahu saja, cabang pertunjukan ini, yakni tari, teater/drama dan musik, yang dipentaskan, bisa dipastikan semua sudah didesain dan dipersiapkan matang oleh si seniman sejak jauh-jauh hari.
Persiapan yang saya maksud meliputi semua aspek seperti desain dan properti panggung, kostum pemain, tata gerak (koreografi), tata cahaya, hingga blocking. Semua aspek itu saling memperkuat satu sama lain, karena sebuah peristiwa pertunjukan atau pemanggungan, pada dasarnya adalah tawaran bentuk komunikasi oleh seniman sebagai penggagas dengan audiens. Terjadi ‘dialog’ atau tidaknya, ya hanya lewat aktivitas di panggung itu saja. Pertunjukan akan disebut gagal jika audiens tidak bisa memahami pesan secara keseluruhan.
***
Mari kita bedah satu demi satu dari beberapa aspek penting sebuah pertunjukan. Pertama adalah blocking atau penempatan pelakon. Ruang gerak pelakon atau aktor (pada drama) atau musisi/penyanyi dan penari, selalu dibatasi dengan luasan tertentu. Masing-masing luasan blocking akan disatukan dengan properti untuk membangun suasana seperti dituntut oleh konsep suasana. Dan, tata cahaya yang terdiri dari satu atau lebih sumber cahaya (lighting) akan menyempurnakan, yang biasanya dipilih aneka jenis filter warna.
Jenis lampu dan besarnya daya pun beragam, sehingga menghasilkan suhu dan intensitas berbeda. Jenis filter (yang mengenal persentase) pun akan turut berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang menerpa aktor atau properti. Kian besar persentase kepekatan warna filter, kian rendah intensitas cahaya yang melewatinya. Karena itu, kita harus jeli, sebab warna dan bahan kostum dan properti akan sangat berpengaruh karena ia bisa menyerap atau sebaliknya, memantulkan cahaya.
Yang pasti, jangan terkecoh oleh citra visual. Sering kita melihat cahaya panggung sangat terang, sehingga mengira intensitasnya tinggi. Khusus pencahayaan dengan filter warna biru, merah atau hijau saja, akan menghasilkan siluet, apapun warna dan jenis kostum penampil. Sebaliknya, filter amber (kecoklatan), meski tampak sedang-sedang saja, ia bisa jadi kuat jika mengenai bidang terang atau tubuh berkeringat, apalagi berminyak.
Kedua, orang sering ngeluh: kok, aktor/penari gerak melulu??? Sejatinya tidak demikian. Pada pertunjukan seni tari, sedinamis apapun gerakannya, pasti ada titik berhenti, walau hanya sepersekian detik. Seperti pada lompatan penari balet, misalnya, ia pasti berhenti pada titik tertentu. Pada saat itulah, tombol pelepas rana dipencet. Kalau perlu, boleh juga pakai continuous mode untuk ‘menyelamatkan’ momentum, meski harus diingat, berisiknya suara kamera jangan sampai mengganggu audiens, sebab pada seni pertunjukan, yang visual dan auditif selalu menyatu dengan rasa.
Khusus pertunjukan tari, gerakan bagus yang tak ditunjang ekspresi pelakon, akan menghasilkan rekaman kosong. Di sinilah letak kesulitannya. Pada tari bedhaya, misalnya, gerakannya hanya akan begitu-begitu saja. Namun gara-gara bola mata satu penari saja, bisa rusak bangunan suasananya.
Beda dengan drama, di mana gerakan dan pergantian adegannya relatif mudah ditebak dibanding pertunjukan tari. Pada teater/drama, mimik dan bahasa tubuh aktor menjadi kunci karena esensinya terletak pada ekspresi yang menunjuukkan adegan itu sebagai sebuah dialog atau monolog. Foto pertunjukan akan kuat jika karakter tokohnya tertangkap kamera.
***
Beberapa edikit catatan yang menurut saya penting, memotret peristiwa seni di dalam gedung, baik arena atau prosenium, sebaiknya kita berada di posisi tegak-lurus titik tengah panggung utama (center) dan diusahakan sejajar dengan ketinggian panggung. Soal mau pakai alat bantu penyangga kamera atau lensa seperti monopod atau tripod, bukan soal, meski bagi saya, keberadaannya justru akan membuat repot, apalagi jika kita harus mengikuti gerakan pelakon sambil menentukan frame.
Penggunaan lampu kilat (flash) jelas dilarang. Oleh sebab itu, pilihlah kepekaan cahaya (ISO) sesuai keperluan. Dengan kamera digital, saya lebih menyukai ISO 400 supaya memperoleh kerapatan gambar maksimal, sementara ketika masih menggunakan kamera analog, saya memfavoritkan ISO 200, meski risikonya, saya pernah harus menahan napas hingga empat detik menyangga kamera tanpa alat bantu, demi hasil potretan tidak blur. ISO lebih tinggi, seperti 800 atau 1600 biasanya saya pilih demi mengejar penyesuaian speed, terutama untuk gerak-gerak dinamis, seperti pada balet.
Ya, saya pernah memotret dengan speed 4, f/4 dengan kamera Nikon FM2 pakai lensa tele. Untungnya berat karena baik bodi kamera maupun lensa semua berbahan metal. Dan memotret pada kecepatan rendah, memang lebih nyaman jika yang disangga kian berat. Potensi goyangnya menjadi lebih kecil.
Soal menahan napas hingga 4 detik namun hasil bidikan tidak goyang, kiatnya sangat sederhana: gunakan pernapasan mulut! Sejak menekan tombol shutter hingga rana menutup kembali, lakukan dengan mulut. Sepelan apapun Anda menghirup dan menghembuskan napas lewat hidung, tangan akan ikut bergerak mengikuti mengembang/mengempisnya dada. Dada pasti akan terangkat saat menarik napas, dan sebaliknya.
Saran lain, sebaiknya jangan menggunakan mode prioritas kecepatan maupun prioritas diafragma. Sering menggunaan M Mode atau penentuan diafragma dan kecepatan rana secara manual, akan melatih kepekaan kita terhadap intensitas cahaya. Jika Anda tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta atau Padangpanjang, jangan kuatir akan menemui kendala tata cahaya. Di kota-kota itu, hampir semua gedung pertunjukannya memiliki tata cahaya yang sangat bagus. Dan kebanyakan penata cahaya (yang profesional hanya itu-itu saja, bisa dihitung dengan jari), semua ‘pemalas’ alias suka boros lampu. Karena itu, saya berani jamin, dengan ISO 400, Anda memungkinkan memotret dengan kecepatan paling rendah 1/30.
Roedjito, seorang skenograf dan satu-satunya guru para penata cahaya yang ada di Indonesia sekarang, sudah meninggal beberapa tahun silam. Hampir semua tata cahaya pertunjukan yang didesain oleh beliau, meski nyaman secara visual, namun dijamin bakal merepotkan fotografer. Dengan ISO 1600 sekalipun, jangan harap bisa menggunakan speed 1/60 pada lebar diafragma 3,5! (Blontank Poer)
Blontank Poer, belajar fotografi secara otodidak dan menekuni fotografi panggung sejak 1993. Aktif melakukan pendokumentasian berbagai pertunjukan di Solo, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Pada 1999 pameran tunggal foto seni pertunjukan di Jakarta, Bandung dan Solo bekerja sama dengan Ford Foundation, dan pada 2009 melakukan pameran foto dokumentasi tari di Goethe Institut, Jakarta.
http://www.seribukata.com/…keren
buat mas blonktank poer makasih banyak ya…
mantab.. infonya n ilmunya !
makasih om… salam ke penarinya 😀
top pakde, klo ada tips yg lebih mendalam soal persiapan dan perilaku artisnya boleh dong dishare, soalnya gak banyak yg tau dari sisi artisnya. thanks
ciamik mas!….thanks untuk tipsnya….
“Ambegan-a metu cangkem! ” (bernafaslah lewat mulut), kata Mas Blontank pada saya beberapa tahun lalu. Singkat, padat, tapi menjadi solusi banyak permasalahan yang saya hadapi ketika memotret panggung.
Maturnuwun mas…