Oleh: Anggertimur Lanang Tinarbuko
Nuansa pagi yang pucat senada dengan air wajahnya kala itu. Tapi ia tak keberatan membagi waktu istirahatnya dengan saya. Bercerita akan kegundahan hatinya tentang seni tradisi yang tak dihargai di negeri sendiri. Tepat dari ruang terdalamnya. Menjadi penyaksi sosok masyhur, melewati masa sepinya.
“Koe meh ning endi? Kok wis arep bali?”, rajuknya, tanda masih ingin ditemani bercerita.
Juli 2017, adalah kali terakhir saya berbincang dengan Mbah Ledjar, sang Maestro Wayang Kancil di rumahnya di kawasan Jl. Mataram, Yogyakarta . Dua bulan setelahnya, ia berpulang. Sebuah obrolan hangat dengan seorang yang belum lama saya kenal, namun akan terus saya kenang.
Sugeng tindak Mbah Ledjar.
Selamat bertemu sang pemilik segala cerita.
Terima kasih untuk lecutan kesadaran
tentang budaya Nusantara yang istimewa.
—–
Sinaran mentari tak hadir tepat waktu. Pagi pucat pun menyajikan langit ragu keabuan. Hal ini agaknya memengaruhi bahasa tubuh sosok senja yang perlahan menghampiri dari ruang peraduannya. Kedua matanya masih tak fokus menatap, tanda kesadaran yang belum genap. Sesekali ia usap, upaya berkelit dari sisa kantuknya.
Namun tak butuh waktu lama untuk kemudian memantik gairah bercerita Ki Ledjar Soebroto (79), yang masyhur dikenal sebagai Maestro Wayang Kancil. Bahasan tentang wayang tanpa sadar membuat nada bicaranya meninggi, dengan napas sedikit tersengal. “Saya menyayangkan kenapa budaya kita ini tak dihargai di negeri sendiri. Tapi malah dicari-cari dan dipelajari orang asing”, tegasnya menggebu.
Ki Ledjar Soebroto adalah salah satu seniman yang hampir tak pernah absen mengharumkan budaya Nusantara ke dunia internasional. Saban tahun, sejak 2008, seputar bulan Mei hingga Juni, ia akan melawat ke negeri kincir angin, Belanda. Ki Ledjar akan tampil di acara Tong Tong Fair, pagelaran megah kebudayaan Eurasian di Den Haag, Belanda. Biasanya, seusai merampungkan acara di Tong Tong Fair, ia akan berkeliling Eropa, menuju Belgia, Jerman, Prancis, lalu menyebrang ke tanah Britania Raya.
“Sehabis acara Tong Tong Fair, biasanya saya ditanggap murid-murid saya yang dulu belajar di Indonesia”, ujarnya bangga. Salah satu murid Ki Ledjar yang tersohor adalah Sarah Belby asal Inggris. Hal inilah yang memudahkan langkah Ki Ledjar mengharumkan budaya dan tradisi wayang ke penjuru dunia.
Wayang Kancil yang menjadi napas perjuangan Ki Ledjar merupakan upayanya untuk meremajakan cara bercerita lewat dongeng fabel. Namun tetap memuat pesan adiluhung di dalamnya. “Lha di Indonesia yang nanggap wayang kancil saja sedikit, apalagi wayang purwa biasa yang ceritanya lebih susah dipahami anak zaman sekarang”, tuturnya sambil tertawa kecut.
Kancil dalam lakon wayang Ki Ledjar menjadi antitesis sosok kancil yang selama ini karakternya dibentuk sebagai hewan yang cerdik namun berkonotasi negatif. Menurut penelusurannya di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land en Volkenkunde (KITLV), sebuah perpustakaan di Leiden, Belanda, Ki Ledjar menemukan literatur dongeng kancil yang tidak ada di Indonesia. “Ini saya copydari perpustakaan KITLV, isinya Serat Kancil Tanpa Sekarkarya Ki Padmasusastra dari Karaton Surakarta, terbitan tahun 1909”, tunjuknya sembari membuka lembaran kertas berisi tulisan hanacaraka.
Ki Ledjar menuturkan, dirinya menyayangkan bangsa Indonesia selama ini larut dalam cerita dan pesan sosial yang salah. Sementara pesan bermuatan positif malah tersimpan di negeri lain. “Saya ingin meluruskan cerita si kancil yang selama ini sudah salah dipahami masyarakat terutama anak-anak”, tambahnya.
Semangatnya bercerita memantik dahaga. Memaksanya beranjak kembali ke ruang peraduannya. Ia kemudian duduk, menyesap kopi yang sudah siap dinikmati, perlahan. Suaranya pun berangsur meninggi kembali. Tak berapa lama, ia meminta untuk diambilkan wayang kancil, kerbau, buaya, pohon, dan gunungan dari kotak kumpulan wayang miliknya. Rupanya ia ingin menunjukkan salah satu lakon andalan yang kerap ditampilkannya. “Ini lakon Air Susu Dibalas Air Tuba”, tuturnya mengawali pementasan.
Lakon ‘Air Susu Dibalas Air Tuba” berkisah tentang buaya yang tak tahu berterimakasih pada si kerbau yang telah menolongnya. Di sini sosok kancil hadir sebagai penengah, memberi masukan dan mendamaikan kerbau dan buaya. “Kancil itu seperti semar. Sosoknya mengayomi”, tukas Ki Ledjar. Wayang kancil ini juga digunakannya sebagai media edukasi pada masyarakat tentang kesadaran lingkungan.
Usai menggelar pentas Wayang Kancil di atas kasur tipisnya, kekuatan Ki Ledjar mendadak sirna. Ia kemudian meringkuk dalam lelahnya. Nampak jelas guratan sayu di wajahnya. Begitu lelah, menjadi penjaga dan pelestari tradisi wayang di era gegar budaya. Namun ia masih ingin terus bercerita.
Anggertimur Lanang Tinarbuko
Seorang fotografer dokumenter dan travel asal Yogyakarta, yang lebih senang disebut sebagai #penceritafoto. Jatuh cinta dengan kearifan lokal Indonesia, yang kini menjadi napas dalam karya cerita fotonya. Tengah berupaya mengajak anak muda Indonesia, menyelami kembali identitas diri masing-masing lewat kearifan lokal dalam tutur cerita foto. Upaya ini dimandatkan pada personal project Anggertimur yang bertajuk #FotoSeriPenceritaFoto tentang kearifan lokal Indonesia di akun instagram @anggertimur