Menembus Batas di Euro 2012
4 Juli 2012 pukul 15.00 waktu setempat dan hentakan Boeing 777-300ER
nyaris saja membangunkan seluruh isi pesawat. Bersama saya, ada lebih
dari 300 penumpang yang akhirnya bernapas lega, mengetahui kaki ini
segera menapak tanah di Munich, Jerman, setelah terbang 15 jam dari
Jakarta. Dengan penerbangan lanjutan, dua jam kemudian kami mendarat
mulus di Bandara Frederick Chopin, Warsawa, Polandia.
Begitu melewati pintu imigrasi, atmosfer Euro 2012 langsung terasa.
Papan iklan dan Giant Banner ada di mana-mana. Lalu, ada Welcome Desk
– yang jadi jujugan pertama saya – bagi para pemegang akreditasi
resmi. Petugas volunteer yang ramah dengan sigap memberikan peta dan
informasi lengkap tentang Warsawa, mulai dari transportasi sampai
penginapan. Semua informasi tersusun rapi dalam sebuah buklet. Free of
charge.
Tahun ini, gelaran sepak bola terakbar se-benua Eropa itu dihelat di
dua negara, Polandia dan Ukraina. Masing-masing negara mendapat jatah
empat kota sebagai host city. Warsawa, Gdansk, Poznan, dan Wroclaw di
Polandia sedangkan Ukraina menggelar even empat tahunan tersebut di
kota Kiev, Donetsk, Kharkiv, juga Lviv. Jarak antar kota di satu
Negara yang tidak terlalu jauh dan sistem transportasi yang rapi
membuat peliputan lebih mudah dikoordinasikan.
Namun untuk menyeberang dari Polandia ke Ukraina atau sebaliknya,
transportasi udara menjadi satu-satunya yang paling nyaman. Meskipun
harga tiket relatif mahal dengan jumlah penerbangan direct yang
terbatas, tapi percayalah, pesawat lebih efisien ketimbang
transportasi darat. Dengan kereta cepat saja, perjalanan Kiev –
Warsawa masih harus ditempuh sekitar 15 jam. Perlu diketahui juga
selama perhelatan EURO 2012, Trem di kedua Negara ini digratiskan bagi
pemilik ID Card. Bahkan di Ukraina, kereta cepat antar kota juga ikut
tak berbayar.
Namun jangan sumringah dulu, jika anda sudah mendapatkan ID Card
Akreditasi resmi UEFA EURO 2012 yang sudah didaftarkan hampir setengah
tahun sebelum event dimulai. Selama babak penyisihan grup, kita harus
pandai-pandai memilih di negara dan kota mana kita akan melakukan
peliputan. Sebab, jika kita sudah mendapatkan konfirmasi satu
pertandingan dan tidak hadir (No Show) tanpa memberikan konfirmasi,
panitia akan memberikan Yellow Card atau teguran keras. Untuk kali
kedua No Show, ganjarannya Red Card dan Akreditasi dicabut.
Pada babak Knock Out, Semi Final dan Final, peliput harus kembali
mendaftar untuk pertandingan-pertandingan yang akan diliput. Pastinya,
kemungkinan ditolak juga besar. Karena itu, saya terbilang beruntung.
Usai babak penyisihan tersebut, saya berhasil mendapatkan 5 partai,
termasuk Semi Final dan Final.
Untuk menyiasati agar jadwal peliputan tidak tumpang tindih,
pertandingan yang akan saya liput pada babak penyisihan grup, saya
rancang dengan baik di Indonesia. Tiket pesawat dan hotel pun dibeli
di Indonesia. Total pada babak ini saya hanya bisa meliput di 7
pertandingan. Karena perbedaan waktu dari Indonesia, saya harus
menyesuaikan jam pertandingan yang akan diliput sehingga bisa dimuat
langsung di keesokan harinya. Pertandingan pertama digelar pukul 18.00
kemudian dilanjutkan pukul 20.45 di kota lain.
Sekali lagi, kedua host country ini menunjukkan kapasitasnya sebagai penyelenggara even dunia kelas tinggi.Aturan peliputan memang sangat ketat. Tapi hal itu setimpal dengan lengkapnya fasilitas ditambah pengetahuan fotografi yang mumpuni dari panitia.
Media center dibikin luas dan nyaman, lengkap dengan koneksi internet yang cepat beserta cafe cepat saji. Di setiap stadion juga terdapat booth Canon yang bisa meminjamkan peralatan fotografi lengkap selama pertandingan. Mulai kamera terbaru hingga jas hujan pun ada. Cukup menunjukan Akreditasi, peralatan yang anda pinjam bisa dipakai selama hari H pertandingan. Keseluruhan pelayanan kelas atas pada media tersebut, membuat kami paham bahwa peraturan yang mereka buat, tidak untuk membebani.
Priority Group
“Random Country” kicau Justin Bieber saat menyebut Indonesia dalam
situs jejaring sosial Twitter, beberapa waktu lalu. Penamaan “random
country” sedikit banyak juga terjadi di pergelaran akbar ini. Pada
Euro 2012, diberlakukan 3 macam Priority Group untuk fotografer
peliput.” Penghuni” priority grup diumumkan pada H-1 sebelum
pertandingan. Prioritas pertama sudah pasti untuk fotografer dari
negara yang saat itu bertanding dan kantor berita asing. Prioritas
kedua biasanya dipegang fotografer asal negara/kota penyelenggara dan
kantor berita non media partner. Sementara prioritas terakhir,
diberikan untuk media dari negara non participant dan “random
country”.
Tentu saja maksud UEFA memberikan prioritas bukan seperti maksud JB
dalam kalimat diatas. Nama besar media, “no show” history, dan jumlah
oplah mempengaruhi kelompok prioritas tersebut. Media peliput dari
Indonesia biasanya mendapatkan prioritas ke-3. Kalaupun berhasil ‘naik
kasta’ dan nangkring di prioritas pertama atau kedua, biasanya karena
jumlah fotografer peliput pada partai tersebut jumlahnya sedikit.
Dalam satu pertandingan, jumlah maksimal fotografer di pitch (pinggir
lapangan) adalah 90 orang dengan pilihan kursi berjumlah 200 kursi.
Sedangkan di tribun penonton, jumlah fotografer yang diijinkan hanya
20 orang.
Untuk prioritas pertama, fotografer bisa memilih kursi di pitch dan
setting kamera di dalam stadion 180 menit lebih awal, selanjutnya
hingga prioritas 3 dikurangi 45 menit. Pada kursi yang dipilih, sudah
disediakan colokan listrik, starting line up dan kabel LAN yang sangat
membantu untuk pengiriman foto. Setiap beberapa saat, para volunteer
juga berkeliling untuk menanyakan apa yang dibutuhkan dan membagikan
air mineral kepada setiap fotografer.
Peraturan dan penempatan posisi dibuat berdasarkan sharing dari para
fotografer dan penyelenggara even yang juga “ngeh” masalah fotografi.
Sehingga, seketat apapun peraturannya, foto-foto yang dihasilkan bisa
dipastikan hasil jepretan terbaik.
Persiapan Liputan Panjang
Di benak setiap wartawan, termasuk saya, bayangan meliput EURO 2012 di
dua negara Eropa selama sebulan penuh, memang tampak hebat Namun
fana. Saya sadar, kondisi cuaca dan makanan yang berbeda justru jadi
kendala yang harus dipikirkan, sebelum sampai di sana. Maka, beberapa
persiapan saya bawa dari Jakarta. Mie instan, kecap, sambal, kopi,
obat-obatan, beras, sampai rice cooker tersusun rapi di dalam tas.
Saya bisa menebak, kawan- kawan wartawan lain pasti akan menanyakan
kegunaan barang-barang tersebut, begitu melihatnya. Dan tebakan saya
tidak meleset. “Buat apa bawa barang-barang nggak penting gitu, toh
nanti bisa juga beli disana”. ujar salah satu kawan. Saya cuma
tersenyum dan menganggapnya angin lalu.
Keputusan saya membawa barang-barang tersebut, bukan tanpa alasan. Ada
sejarahnya. Tahun 2011 kemarin, saya ditugasi kantor untuk membantu
peliputan ekspedisi perjalanan ibadah Haji lewat jalan Darat selama 2
bulan. Dari situ, saya belajar, lidah lokal kita kurang peka dengan
makanan-makanan “bule”. Mungkin seminggu pertama daging, sosis, dan
roti terasa lezat. Lama kelamaan, rasa rindu akan nasi tak terelakan.
Padahal, hanya beberapa restoran yang menjual nasi atau makanan Asia
yang cocok dengan lidah Indonesia. Itupun harganya selangit. Sebagai
contoh di Hard Rock Café Warsawa tersedia menu Rendang dengan harga
hampir 300.000 rupiah per porsi! Tak ayal, Mie instant dkk yang saya
bawa habis diserbu kawan-kawan wartawan Indonesia yang kebetulan
menginap bersama di apartemen. Sekali lagi, saya cuma bisa tersenyum
sekaligus merasa senang karena barang- barang bawaan saya laris manis.
Memang, beban liputan kali ini cukup tinggi dan melelahkan. Namun,
semua itu terbayar lunas saat saya berada di Stadion dan mulai
memotret. Christiano Ronaldo, Andres Iniesta, Mario Balotelli, Wesley
Sneidjer, dan deretan mega bintang Eropa lain yang biasanya cuma bisa
kita lihat di TV, kini bisa diabadikan di kamera. Dari jarak dekat
pula. Saya masih percaya, suatu saat Indonesia pasti bisa menggelar
turnamen dengan level kemegahan serupa. Tentu saja dibarengi dengan
pelayanan kelas dunia untuk para jurnalis. Semoga semangat belajar
kita tidak pernah luntur. (Hendra Eka)
*Hendra Eka, bekerja sebagai fotojurnalis di Harian Jawa Pos sejak 2008.
Terima kasih semuanya. 😀
Selain foto jurnalisnya, ternyata tulisannya jg keren chak…salute !!
WOW..Well Done Bro..tinggal satu lg di 2014 ya di Brasil
mantap ceritane….
Woot, I will cetlianry put this to good use!
wow,..merasakan bro,..salut buat kerja kerasnya
Keren nyet, eh.. Keren mas hendra eka 😀
Thkans for taking the time to post. It’s lifted the level of debate
keren…menyenangkan membaca dan melihat foto2nya…
Keren Eca,Foto ma Tulisanya…Sukses ya
Salam