Matanya memandang dengan serius goresan pena yang membentuk rupa dinosaurus yang dibuat olehnya. Diam, dan sangat berkonsentrasi saat berhadapan dengan kertas gambar yang putih. Sesekali dia hanya berbicara dengan diriku “Kak dinosaurus yang bias terbang namanya apa?”. Pertanyaan yang sangat retorika, karena pada dasarnya dia tidak perduli dengan nama hewan tersebut. Tangannya terus bergerak menggambar sebuah burung dan singa. Edo, 9 tahun adalah salah satu seorang anak yang menderita kanker. Ia mengalami kanker otot.
Lahir dari sebuah keluarga petani miskin di Bengkulu, ia dibesarkan oleh seorang ibu bernama Ratau (32) yang bekerja sebakai petani. Kehidupan yang miskin membuat Edo kekurangan gizi. Di 2006, sebuah benjolan tumbuh ditangan kirinya. Benjolan kecil yang dianggap remeh ini kemudian dioperasi di sebuah rumah sakit di daerah Padang, tetapi setelah itu benjolan tersebut tak akan pernah hilang dan menjadi semakin membesar dan kemudian menjadi kanker yang memakan otot tangan kirinya hingga lumpuh.
Edo kini tinggal bersama 29 anak pengidap kanker yang tidak mampu di Rumah Kita II, Slipi Jakarta. Rumah Kita adalah rumah yang sangat nyaman buat mereka para anak penderita kanker, Menurut Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) diperkirakan setiap tahun ada 4.100 kasus baru pada anak di seluruh Indonesia.
Rumah Kita yang dikelola oleh Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia memberikan sekolah di rumah gratis dengan didampingi guru pengajar bergantian. Pendidikan yang diberikan sesuai dengan kemampuan anak. Karena setiap anak mempunyai kemampuan fisik dan otak yang berbeda karena terpengaruh kemoterapi yang melemahkan tubuh.
Ibu Pinta sebagai pendiri Rumah Kita ini menjelaskan bahwa pendidikan sangat penting bagi mereka. Yaitu meningkatkan kualitas hidup anak-anak penderita kanker dan lupa terhadap penyakitnya.
Seperti membunuh waktu disaat mereka harus menjalankan perihnya kemoterapi. Dengan belajar diharapkan anak-anak siap secara berapa lama lagi nafas ini tidak terus berhembus. Obat, memang dibutuhkan, tetapi ada yang lain yaitu sebuah “ obat pendidikan “ agar mereka menjadi berkualitas. Seperti Edo yang selalu semangat dalam belajar matematika, bahasa Indonesia dan melukis. “kak aku mau jadi pelukis” kata Edo. Semoga dia bisa melukis keindahan di dalam dirinya hingga pada saatnya.
Santirta Martendano, Lahir di Yogyakarta 07 maret 1979. Mulai menggeluti foto dokumentasi setelah mengikuti workshop di Galeri Foto Jurnalistik Antara di tahun 2002. Selepas itu dia menjadi kontributor Djakarta Magazine, lalu menjadi fotografer dan periset foto di Koran Tempo dan Majalah Tempo. Delapan tahun di Tempo, kemudian dia menjadi Asisten Redaktur Foto di Media Indonesia dan kini bekerja di plasamsn.com sebagai editor foto.
7 Basic Tips That Will Make Your Stock Photographs Sell Like Hotcakes http://t.co/7FOXs3d1
— Seribu Kata (@1000kata) July 17, 2012
RT @pannafotoorg: John Stanmeyer Workshop, Jakarta 23 Juli 2012. Info selengkapnya di : http://t.co/8fPcIHzN
— Seribu Kata (@1000kata) July 11, 2012
Waaa, hitam putih waaa
Top!
Narasi dan foto2 yang menggugah… salam kenal, mampir juga ya! 🙂
fotografer idolaku. mantap
suwun broder, joss selalu!
wah keren banget nih! trenyuh baca & liat fotonya