“Mohon perhatian para penumpang pesawat udara Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 7024 jurusan Bima dipersilahkan naik ke pesawat” Pengumuman petugas bandara Lombok Praya memecah lamunan saya pagi itu. Panggilan boarding yang saya tunggu-tunggu.
Hangatnya sinar matahari langsung terasa saat kaki melangkah di landasan airport menuju ke pesawat. Cahaya kekuningan memunculkan siluet petugas darat Garuda Indonesia berdiri membelakangi matahari. “Cuaca yang cukup bersahabat”, pikir saya, sembari menaiki pesawat ATR yang akan membawa saya terbang menuju Bima.
Dengungan pelan suara baling-baling mengiringi penerbangan singkat menuju Bima. Perlahan mulai terasa pesawat mengurangi ketinggian terbang, tanda perjalanan hampir berakhir saat terlihat sosok gunung Tambora dengan kaldera menganga di balik jendela pesawat. Sebuah gunung yang terkenal dengan letusan dahsyatnya dan mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia pada tahun 1815. Letusan Tambora konon juga mengakibatkan perubahan iklim di benua eropa.
Gemerincing suara batu cincin saling beradu menyambut saya di pintu gerbang bandara, Ikhsan, seorang petugas bandara Bima menunjukkan batu cincin koleksinya yang dipakai di hampir semua jari tangannya saat diperkenalkan oleh Reza, petugas Garuda Indonesia yang kemudian berbaik hati mengantar saya mengelilingi kota. Batu cincin memang sedang popular hampir di semua wilayah di tanah air.
Bandara kota Bima tampak cukup ramai hari itu, puluhan orang memenuhi pelataran ruang terminal kedatangan menunggu sanak saudara mereka keluar dari bandara. Pemandangan yang ternyata hampir setiap hari terlihat di bandara kecil ini. “Rombongan pengantar atau penjemput penumpang memang ramai di sini, bahkan terkadang penumpangnya cuma satu orang tapi pengantarnya bisa puluhan orang”. Ujar Reza, seakan menjawab pertanyaan yang muncul di kepala saya. Kebiasaan lokal yang cukup unik.
Bima atau dikenal juga dengan Dana Mbojo dalam bahasa lokal, adalah sebuah kota kecil di kaki gunung Tambora di bagian timur pulau Sumbawa, provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah kota yang dikelilingi bukit-bukit dan laut yang cantik.
Seperti daerah-daerah lain di Nusa Tenggara, cuaca hari itu terasa cukup panas. Tak berapa lama baju yang saya kenakan sudah mulai basah oleh keringat. Namun panasnya udara pun hilang dari perhatian saya saat mobil yang saya tumpangi mulai melaju melewati pinggiran pantai di sepanjang perjalanan dari bandara menuju kota. Sungguh sebuah pemandangan berbeda jika dibandingkan dengan yang sering saya lihat di pulau jawa. Gumpalan awan menawan menyelimuti laut dan pantai yang berada tepat di pinggiran jalan. Terlihat beberapa perahu nelayan berjajar dan diselingi hamparan tambak ikan bandeng yang luas.
Tak lama berselang saya melihat beberapa ekor kuda sedang ditambatkan di pinggiran pantai Kalaki. Saya pun meminta untuk berhenti sejenak. Kuda memang menjadi salah satu tujuan utama saya ke Bima. Saya segera melompat keluar dan memulai memotret. Cukup lama saya memotret kuda-kuda tersebut sambil mencoba fitur-fitur kamera digital Samsung NX-1 yang saya gunakan. Kehidupan masyarakat pulau Sumbawa sepertinya tidak bisa dipisahkan dari kuda, terutama di kota Bima dan kota tetangganya Dompu. Selain sebagai alat transportasi, kuda juga selalu dijadikan pendukung acara-acara kebudayaan termasuk yang paling terkenal adalah pacuan kuda.
Pacuan kuda merupakan tontonan populer di sini. Di Kabupaten Dompu dan Bima, permainan ini dikenal sebagai ”Pacoa Jara” dan diselenggarakan pada hari-hari besar, seperti perayaan hari kemerdekaan RI 17 agustus.
Pacuan kuda di Bima dan Dompu menjadi unik karena para penunggang kuda yang berlaga adalah joki-joki cilik berumur 8-15 tahun. Menyaksikan anak-anak berpacu di atas punggung kuda tanpa pelana ternyata cukup menegangkan.
Keberanian joki-joki cilik ini sungguh luar biasa. Bagi mereka jatuh dr pelana kuda adalah hal biasa. Namun layaknya anak kecil sepantaran mereka, tak jarang mereka juga menangis kesakitan.
Selain pacoa jara, kota Bima juga memiliki daya tarik lain, seperti istana dan barang peninggalan kerajaan Bima. Saya sempat mampir dan menemui ibu Siti Maryam, seorang keturunan kerajaan bima yang berbaik hati memperlihatkan naskah-naskah kuno peninggalan kerajaan.
Setelah menelusuri Bima, sesuai rencana saya melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo melalui laut. Dari Bima saya harus menyeberang melalui pelabuhan Sape, sekitar satu jam perjalanan dari Bima.
Pagi itu KMP Marina Primera terlihat sudah bersandar di dermaga. Selain para pedagang tampak pula beberapa pelancong mancanegara yang bersiap untuk menyeberang. Lautan yang biru dan perahu-perahu kecil tampak tertambat di sekitar dermaga Sape. Sudah terbayang keindahan Labuan Bajo dan taman nasional Komodo di benak saya.
Tak terasa pelabuhan Labuan Bajo mulai terlihat di kejauhan setelah KMP Marina Primera berlayar selama enam jam. Pelabuhan Labuah Bajo tampak ramai sore itu, selain kapal penyeberangan modern, ada pula beberapa kapal wisata pinisi yang lego jangkar di sekitar pelabuhan. Kota pelabuhan ini memang menjadi pintu masuk utama bagi para pelancong untuk menikmati keindahan taman nasional Komodo. Jejeran kafe dan restoran tampak berjajar di pusat keramaian tak jauh letaknya dari pelabuhan.
Taman nasional Komodo yang meliputi dua pulau utama, Komodo dan Rinca memang terkenal dengan keindahan laut dan tentu saja binatang khas Komodo. Wisata bawah laut dan tracking di padang savana merupakan paket perjalanan yang popular ditawarkan bagi para wisatawan. Ada Juga pink beach yang sangat indah, menawarkan pesona butir-butir pasir pantai berwarna pink. Bagi saya taman nasional Komodo dan kota kecil Labuan Bajo adalah salah satu tujuan wisata yang wajib dikunjungi oleh semua orang Indonesia, karena ada ‘sepotong surga’ di sana.
Mast Irham adalah co-founder seribukata.com. Pernah terpilih sebagai salah satu peserta workshop fotojurnalistik yang diselenggarakan oleh World Press Photo dan Europe Foundation di Hanoi, Vietnam. Saat ini bekerja sebagai Chief Photographer European Pressphoto Agency (EPA) biro Indonesia. Instagram & Twitter : @mastirham