Rama Surya, mendengar namanya, ingatan saya langsung melayang pada portrait seorang laki-laki pekerja berbaju lusuh, tatapan mata tajam dengan pisau terselip di pinggangnya. Portrait yang dipilih sebagai cover buku ‘Yang Kuat Yang Kalah’ buku foto pertama Rama Surya. Buku yang dicetak tahun 1996 ini adalah salah satu buku yang banyak menginspirasi fotografer muda. “Buku ‘Yang Kuat Yang Kalah’ memberi inspirasi dan pengaruh kuat bagi saya yang kebingungan untuk membuat esai foto yang baik,” Ujar Agus Susanto, pewarta foto harian Kompas.
Kemampuan Rama Surya, yang pernah menjadi pewarta foto majalah HAI dan Fotomedia, dalam menyusun karya foto hitam-putihnya menjadi acuan bagi para fotografer muda dan pewarta foto termasuk saya untuk membuat karya yang sama. Siapa yang tak kenal Rama Surya Saat itu.
Kekuatan Rama dalam bercerita dan berfilosofi lewat bingkai-bingkai visualnya juga terlihat dalam ‘Yogyakarta: Street Mythology’. Photo story yang menampilkan dinamika kota Yogyakarta sebagai entitas budaya. Simbol-simbol kebebasan dengan latar belakang perubahan kondisi politik di tahun 1998 ditampilkan dengan menarik namun tetap sederhana. ‘Yogyakarta: Street Mythology’ sempat dipamerkan di Nikon Image House Gallery di Kustnach Switzerland.
Setelah 19 tahun berselang, Rama yang sekarang bernama lengkap Shamow’el Rama Surya, kembali hadir dengan ‘A Certain Grace’. Sebuah buku yang menampilkan kejeliannya menangkap kehidupan sehari-hari masyarakat pegunungan Arfak, Papua Barat. Buku setebal 160 halaman ini menyajikan 118 foto-foto berwarna karya Rama Surya.
“Buku ini adalah bentuk pertanggungjawaban saya sebagai seorang fotografer,” ungkap Rama dalam sambutannya pada peluncuran buku dan pembukaan pameran di Galeri Fotojurnalistik Antara (23/10).
Berawal dari penugasannya sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama (SMP) 17 Minyambou, sebuah daerah terpencil di Pegunungan Arfak yang jauh dari mewahnya fasilitas umum. Rama mencoba menangkap keseharian anak-anak muridnya sekaligus merekam aktifitas warga sekitar. Potongan-potongan keseharian itu kemudian dirangkainya menjadi satu cerita yang ditampilkan lewat bahasa visualnya yang lugas namun dalam.
Siluet seorang anak papua memegang pisang dengan latar belakang bendera merah putih menjadi foto utama yang menunjukkan kematangan Rama dalam memasukkan pesan ke dalam fotonya. Di balik beratnya kehidupan sehari-hari warga Arfak, Rama juga menangkap harapan melalui rana kameranya. Minimnya fasilitas kesehatan membuat warga sangat percaya akan keajaiban pertolongan Tuhan yang kemudian divisualkan lewat foto murid-murid sekolahnya saat berusaha menyembuhkan keluarga yang sakit melalui doa-doa.
Foto seorang anak berbaju klub sepakbola Real Madrid menempelkan tangannya ke tubuh tetangganya sambil berdoa memohon kesembuhan bagi sang tetangga, menjadi menarik dengan terselipnya simbol-simbol politik lewat gambar partai politik yang tergantung di tembok. Gaya bertutur seorang pewarta yang selalu mengisi frame fotonya dengan banyak informasi. Perjalanan spiritual personal Rama Surya sebagai pendeta juga muncul melalui simbol-simbol kedamaian yang ditampilkannya. Bunga matahari yang mekar berwarna kuning atau visual seorang bapak bersama anak-anaknya berjalan di tengah kabut seakan menunjukkan selalu ada dua sisi mata uang, di balik minimnya fasilitas umum yang tersedia, daerah terpencil di pegunungan Arfak juga menawarkan keindahan yang menawan.
“Karya foto Rama Surya sangat kuat tapi ditampilkan secara sederhana,” komentar fotografer senior Tjandra Amin, sesaat setelah melihat pameran foto ‘A Certain Grace’.
Saya ingat benar, belasan tahun lalu, saat hari menjelang magrib, bersama beberapa orang teman kuliah memacu sepeda motor saya dari Solo menuju Yogyakarta ‘hanya’ untuk mendatangi diskusi foto sekaligus mendengar langsung pengalaman Rama Surya dalam berkarya. Time Flies..Sembilan belas tahun tidak membuat Rama kehilangan rasa.
Mast Irham, 28 Oktober 2015
SHAMOW’EL RAMA SURYA
Lahir di Sumatra pada tahun 1970. Tinggal di Denpasar dan Bandung.
1990 Belajar fotografi di Institut Seni Fotografi & Desain (ISFD) Bandung.
1993 – 1994 Bekerja sebagai fotografer di Majalah Remaja HAI, Jakarta.
1994 – 1998 Bekerja sebagai fotografer dan editor di Majalah FOTOMEDIA, Jakarta.
2000 – 2001 bekerja sebagai editor foto di Majalah Latitudes, Denpasar.
2001 – Sekarang bekerja sebagai freelance fotografer dan “visual artist”.
2006 – kini, proyek buku fotografi tentang China.
BUKU
1995 – Ikut dalam proyek buku “Arung Samudra: Indonesian Sail ‘95” yang diterbitkan KompasGramedia.
1996 Majalah FOTOMEDIA menerbitkan buku foto pertamanya yang berjudul “Yang Kuat Yang Kalah” yang berisi 5 esai foto.
2001 Museum der Kulturen.Basel, Switzerland menerbitkan buku foto keduanya
Yang berjudul “Bali: Living In Two Worlds”
PAMERAN TUNGGAL
1996 – “Yang Kuat Yang Kalah” pameran di 5 kota: GFJA Jakarta, CCF Bandung,
Bentara Budaya Yogyakarta, Surabaya Post, Surabaya dan ISI Denpasar.
2000 – “Borneo Airmata Api” di Kedai Kebun Gallery dan KOMANEKA Bali.
2000 – “Yogyakarta: Street Mythology” di Nikon Image House Gallery, Kusnach Zurich, Switzerland.
2001 – “Bali Living In Two Worlds” di Museum der Kulturen.Basel, Switzerland.
2003 – “SELF” DI Paros Gallery, Sukawati, Bali.
2004 – “Bali Living In Two Worlds” di Museum For The World Culture, Frankfurt,
2005 – Pameran “Water and Fire” di Salim Galeri, Seminyak, Bali. Germany.
2006 – “Kemurnian/Purity” di Richard Meyer Culture, Petitenget, Bali.
PAMERAN BERSAMA
1991 – Pameran “4 Fotografer Muda Muda” CCF, Bandung
1996 – Ikut di Pnomh Penh Photo Festival, Cambodia oleh CCF
1997 – Pameran “Indonesian and Flemish Artist” di Galeri Nasional, curator Jim Supangkat.
1998 – Biel/Bien Fototage (Photo Festival) di Switzerland.
1999 – Pameran berdua Sigrun JanielKlaar di Galeri Milenium, Jakarta, curator Hendro Wiyanto
1999 – Pameran “4 Fotografer Yogyakarta” di Bentara Budaya Yogyakarta.
2002 – Pameran “Bali Bomb” di KOMANEKA Gallery, Ubud, Bali.
2004 – Pameran “Hot Plate” berdua dengan Hanafi di Taksu Gallery, Jakarta.
2005 – Bali Biennal di ARMA Ubud, Bali.
2011 – “Contemporary Landscape” di Lawangwangi, Lembang, Bandung. Curator: Asmudjo Jono Irianto.
2011 – “Beyond Photography” di Ciputra Art World, Jakarta. Curator: Jim Supangkat dan Asmudjo Jono Irianto.
2012 – “Pameran Seni Keramik Kontemporer” di Museum Keramik, Jakarta.
PENGHARGAAN
1995 – Fotografer Terbaik di proyek buku “Arung Samudra: Indonesia Sail ‘95” Oleh TNIAL di Jakarta.
1998 – “Photographer Of The Year 1997” oleh Majalah fotoMAGAZIN, Germany.
Info buku ‘A Certain Grace’ : www.AfterhoursBookShop.com
Mast Irham has been doing photography since he was a student at Communication Study at Sebelas Maret University in Solo, Central Java. Before he finished his undergraduate study, he had joined Antara news agency as a contributing photographer. After graduation, he worked for Media Indonesia newspaper until 2004, when he was chosen as one of the participants of photojournalism workshop organized by World Press Photo and Asia Europe Foundation in Hanoi, Vietnam. He later joined European Pressphoto Agency (EPA) in August 2004. During the more than 10 years of his career, Irham has been covering politics, economy, disaster, and sport events both in Indonesia and abroad. Among his notable experience were covering earthquake and tsunami in Aceh, and Bali bombing. His foreign assignments include Aung San Suu Kyii release in Myanmar, Australian Open tennis tournament in Melbourne, Australia, and earthquake in Nepal, Brazil's World Cup. Irham is now EPA chief photographer for Indonesia.