Teks dan foto: Nyimas Laula
Jika akun Instagrammu memiliki 400 juta followers, apa yang akan kamu lakukan dengan itu? Sebuah pertanyaan yang akan memancing imajinasi dan membawa angan-angan jauh ke depan tentang seberapa besar impact yang bisa kita buat, dengan hanya sebuah aplikasi di smartphone kesayangan.
Semua orang pasti suka diapresiasi, ada banyak orang yang ingin menunjukkan siapa dia, apa yang dia bisa, tanpa repot-repot mengumpulkan banyak orang di satu tempat, itulah yang menjadi beberapa alasan mengapa lebih dari 400 juta orang sign up menjadi user di media sosial tak terkecuali Instagram, dan setidaknya 120 juta user diantaranya berasal dari Indonesia. Yang membedakannya dari media sosial lain ya jelas harus ada fotonya. Percaya nggak percaya, Instagram nggak cuma membentuk kebiasaan baru di era digital, tapi juga berpotensi menjadi kiblat teknologi smartphone dan dunia fotografi modern. Format square di iPhone ber iOS 7 ke atas, kamera mirrorless dengan WiFi, bahkan kamera professional DSLR sekalipun menyediakan format square. “Man, sejak kapan DSLR punya format square?”.
Sharing what you love, dilihat dari ribuan macam foto yang ada di Instagram, sepertinya begitulah mayoritas pengguna Instagram memanfaatkan akunnya. Dari foto keluarga, menu makan siang, secangkir kopi, sepatu baru, baju yang dipakai hari ini, di puncak gunung, di dalam lautan, atau foto selfie yang pada intinya ingin menunjukkan pada khalayak kebahagiaan yang kita rasakan saat itu. Saya pun demikian, dengan senang hati saya berbagi foto-foto hasil petualangan saya di tempat-tempat yang belum terkeskplor di kota Bandung, yang akhirnya menghubungkan saya dengan banyak orang yang memiliki ketertarikan yang sama. Jadilah saya semakin semangat berpetualang menjelajah Kota Kembang yang saya tinggali saat itu.
Memotret dan berpetualang kemudian menjadi kebiasaan yang hype di kalangan anak muda sesama Instagrammer, sedikit banyak hal tersebut ternyata menjadi cikal bakal gaya hidup traveling yang sekarang sedang menjamur. Tebing Keraton di Bandung adalah salah satu cerita nyata bagaimana Instagram dan penggunanya bisa berdampak pada sesuatu, saya pribadi sempat sering mengunjungi Tebing Keraton saat sebelum menjadi terkenal dan ikut sedikit kecewa melihatnya menjadi pasar kaget ajang selfie setiap weekend. Saya juga tidak menyangka, kesenangan saya akan jalan-jalan menjadi jauh dimudahkan dengan teman-teman sesama Instagrammer yang tersebar di setiap daerah di Indonesia. Mereka dengan senang hati menunjukkan saya tempat-tempat andalan yang belum terekspos di daerahnya, saya pun tak perlu mengeluarkan uang untuk penginapan, karena mereka dengan senang hati menawarkan.
Sense of approval, saya pikir ini yang menjadi hal utama yang diberikan dunia Instagram kepada anak muda yang masih butuh pengakuan akan dirinya dan diterima di khalayak sosial. Dengan mengunggah foto-foto yang ‘keren’, mendapat apresiasi, sebagai anak muda merasa seakan akhirnya bisa menunjukkan,” siapa sih gue, gue bisa apa, gue suka melakukan apa,” kepada dunia. Gak heran, komunitas terbesarnya ada di Indonesia. Instagram pun dengan cerdiknya terus menjaga semangat ini dengan memberikan apresiasi akan keterlibatannya dalam komunitas Instagram dunia dengan kiriman-kiriman paket Community First, Instameet Kit, Calendar, dan memberikan kesempatan menjadi Suggested User selama dua minggu—dimana ribuan followers berdatangan setiap harinya.
Perspektif saya mengenai Instagram jadi semakin luas setelah saya menjadi salah satu Suggested User, bukan cuma menjadi media bereksperimen dalam fotografi, saya melihat Instagram juga merupakan peluang bisnis. Banyangkan, sekarang ini ada ratusan juta orang dari seluruh dunia yang punya kebiasaan scrolling Instagram setiap bangun tidur, makan siang, disetiap waktu luang, dan sebelum tidur. Dengan asumsi setiap user mempunyai smartphone yang berarti berada di kalangan menengah keatas, well, there’s a real market here. Dibanding dengan membayar puluhan juta untuk pasang iklan di billboard, akan lebih efektif jika membayar seseorang dengan yang mempunyai banyak follower untuk menjadi ‘media’ iklan, tak terkecuali saya.
Begitulah kemudian, Instagram saya dipenuhi dengan foto jalan-jalan, promosi, dan kampanye produk. Setelah kedua kalinya menjadi Suggested User, mendapatkan banyak followers dan likes terasa tak se-rewarding dulu. Seakan saat itu saya motret hanya untuk menyenangkan followers, menyuguhkan foto-foto yang mereka suka, walaupun 99% diantara mereka tidak saya kenal. Pendapatan terus mengalir dari Instagram, tapi saya mulai merasa tidak jujur sama diri sendiri, kemudian saya pikir, mungkin ini saatnya kembali ke jalan yang sebenarnya, menjadi fotografer, professional.
“Tunggu, tunggu. Bukannya lo udah jadi fotografer professional di Instagram?”
Bisa dibilang saya orangnya idealis, dan saat itu saya merasa pengetahuan saya di fotografi tak berkembang jauh, tak ada kritik membangun karena seakan semua suka foto-foto saya. Memang benar adanya, puja-puji itu racun yang manis—yang menyeret saya ke arus tren gaya foto yang laku di Instagram. Saya rasa saya masih harus banyak belajar. Keinginan saya ternyata diamini oleh Semesta dengan saya diterima magang di Reuters.
Foto jurnalistik menjadi dunia yang sama sekali berbeda buat saya. Saya terekspos dengan sisi lain dari kehidupan, like stepping into the other side of a coin. Kesedihan yang dialami kerabat pelaku Bali 9, perjuangan dan penderitaan imigran Rohingya di Aceh, dan cerita colongan yang saya dapat dari assignment harian yang saya lakukan rasanya sudah tak terhitung. Lalu saya berpikir, kenapa saya tidak berbagi cerita ini kepada jutaan orang di Instagram?
Saya berharap dengan cerita tersebut saya bisa sedikit menginterupsi pikiran seseorang, bahwa di dekat mereka masih ada yang lebih tidak beruntung darinya, mungkin bisa membuatnya lebih bersyukur akan apa yang telah dia punya, atau menggerakkan hatinya untuk membantu sesama. Saya rasa membantu sesama harusnya menjadi hal yang tidak pernah klise, dan ini salah satu dari hal yang paling tidak bisa saya lakukan untuk membantu mendengar cerita dan menceritakannya kembali lewat foto dan akun Instagram yang saya punya. Sekecil apapun niat baik, saya rasa harus dicoba, siapa tau suatu hari saya bisa membantu banyak orang seperti yang dilakukan “Humans of New York” dengan akun Instagramnya.
Di jaman sekarang, memiliki kamera dan bisa mengoperasikannya seolah membuat seseorang begitu mudahnya menyandang titel ‘fotografer’. Dengan media sosial terutama Instagram, profesi fotografer dalam beberapa tahun lagi mungkin menjadi profesi yang paling banyak digeluti orang. Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal itu, karena pada akhirnya yang membedakan fotografer satu dan yang lainnya adalah apa yang ada di pikiran mereka, bagaimana mereka merefleksikan apa yang ada di dalam pikiran dan perasaannya saat itu ke dalam frame-frame yang mereka hasilkan. Saya rasa para pewarta foto yang telah lama mendedikasikan hidupnya di dunia foto jurnalistik adalah yang paling mengerti akan hal ini. Saat bahaya datang, terkadang merekalah garis terdepan, saat bencana terjadi dan warga berlarian, mereka terkadang harus tetap tinggal.
Hasil foto yang dibawa pulang akan jelas terpampang pada update berita terbaru. Kemudian saya mulai mempertanyakan, seberapa banyak orang yang membaca berita perharinya? Berapa banyak dari mereka adalah anak muda? Saat suatu insiden terjadi, respon masyarakat untuk mengetahui kabar insiden tersebut memang cepat, saya mempertanyakan darimana sumbernya, jawaban yang selalu keluar adalah media sosial, yang notabene kredibilitasnya pun sulit dipertanggungjawabkan. Dari sana saya bisa menyimpulkan, di era media sosial, kebenaran yang bukan hanya makin kabur namun menjadi spectrum warna, maka peran foto jurnalistik di dalamnya menjadi sangat penting sebagai penyeimbang opini yang terbentuk dalam masyarakat.
“Instagram nu aing kumaha aing”, sepertinya semua akun media sosial yang kita miliki akan digunakan sebagai apapun yang kita mau. Berbagi tentang kehidupan sehari-hari, pengalaman mengelilingi tempat-tempat indah di dunia, atau berkampanye untuk bersama menanggulangi perubahan iklim, semuanya terserah kita. Tapi maukah kita sedikit meluangkan waktu untuk berpikir apa yang kita bisa lakukan dengan media sosial, terlebih Instagram yang berbasis foto yang kita percaya bisa berbicara melebihi 1000 kata lintas Bahasa?
Pada akhirnya, jawaban akan pertanyaan saya di awal, mengenai apa yang akan kamu lakukan jika kamu mampu mempengaruhi banyak orang, hanyalah akan terbagi dengan dua hal, tentang dirimu, atau sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirimu sendiri.
Nyimas Laula Li-An’Amie, atau yang lebih dikenal dengan handle Instagramnya @nyimaslaula, adalah seorang fotografer lepas yang tinggal di Jakarta. Sejak mulai aktif menggunakan Instagram pada tahun 2013, Nyimas sudah membuktikan bahwa ia memiliki segudang talenta sebagai fotografer dan social media influencer. Dunia foto jurnalistik juga sempat dijajal gadis berusia 23 tahun ini setelah diterima magang untuk beberapa bulan di kantor berita REUTERS pada tahun 2015. Dalam tulisan berikut, Nyimas menuangkan pemikirannya tentang Instagram yang pada awalnya ia gunakan sebagai ajang berkesperimen dalam fotografi, pencatat perkembangan karya dan platform yang dianggap paling tepat untuk menjadi muara dari foto-fotonya. (Red. 1000Kata)
Hai mba nyimas! i’m the one of your followers x))
Ngga sengaja buka seribu kata dan baca tulisan mba yang bikin saya sedikit nemu titik terang dari galau foto beberapa waktu ini. Sempat ingin mengikuti trend foto IG dan ingin jadi salah satu dari anak-anak hits. Ninggalin base foto saya demi beberapa digit like dan ribuan followers. Tulisan ini beneran nampar saya. Haha percaya ga percaya sedikit ada jawaban yang mulai muncul. Yah, sekalipun saya masih pengen jadi suggested usernya instagram :p. Btw, selalu suka cara mba cerita lewat foto, entah itu di steller maupun di ig. Semangat berkarya ya! semoga jawaban kegalauan saya segera muncul semua T.T
Salam kenal Mbak/Ibu Nyimas. Terima kasih, tulisan yang bermanfaat sekali. Rasanya seperti menemukan ‘oase’ karena menyelamatkan saya yang mulia tergiur menggunakan jasa follower demi berburu like. Perasaan ‘mupeng’ melihat akun lain serupa mendapat like banyak ya antara heran, kagum, iri bercampur aduk dengan mencibir karya lain yang tampaknya biasa. Pun gegara seminggu ini banyak jasa itu yang meng-follow seakan kurang cukup mengesankan derita itu. Malu rasanya. Paragraf terakhir artikel ini sungguh mengingatkan niatan awal saya adalah berbagi, dalam hal akun saya ya, makanan dan bukan, bukan asal makanan ala cafe atau resto yang asal jepret apalagi dengan kamera kualitas jernih. Saya sendiri suka kesal karena lamban mendapat real follower, tapi itulah tantangan. Saya memilih percaya yang namanya kualitas berjalan dengan sendirinya tanpa pengaruh lain, tentu saja diimbangi belajar dan interaksi yang lebih baik.
Kalau dilihat dari tujuan hidup kebanyakan remaja masa kini, kebanyakan dari mereka memuja-muja popularitas dan itu diukur dari banyaknya follower sosmed mereka. Sebenarnya ini tidak salah karena tidak melanggar norma-norma yang ada.
Tapi dengan adanya fenomena ini membuat mereka seperti punya energi yang besar untuk ‘pamer karya’ di sosmed. (Mungkin) bagi mereka, bagaimana cara mendapatkan ‘karya’ tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dipikirkan baik / buruknya bagi lingkungan. Yang penting banyak like. Jadi, apa perlu kita bentuk semacam kesepakatan dalam etika mengambil momen foto? 😀