Kereta api dua lantai yang saya tumpangi menembus malam pekat, tiang listrik dan lampu rumah penduduk berebutan mengisi frame jendela kaca yang ada persis di samping saya. “Kereta ini baru dan produksi china, makanya anda takjub melihatnya, ini kereta tidak spesial bagi saya”, ujar seorang pramugara kereta saat saya mengajaknya berbincang. Bagaimana saya tidak takjub melihat kereta yang mengantarkan saya dari kota Tehran ke Yazd. Kereta dua lantai, full ac, bersih, televisi 32 inch, ruang toilet yang bersih, tempat duduk yang nyaman serta mendapatkan air mineral dan sedikit cemilan cukup dibayar Rp 140 ribuan dengan jarak tempuh 8 jam. Saya jadi membanding-bandingkan dengan kereta argo di Jawa.
Tak banyak kursi terisi di kereta ini, saya dan rekan backpacking Fadli dan Wilco (seorang backpacker dari Roterdam yang ikut bergabung dengan kami untuk menghemat biaya penginapan) memilih kursi masing-masing yang bisa membuat kami nyaman beristirahat menjelajah malam menuju kota tua Iran, Yazd. Setiba di stasiun kereta Yazd, pukul 04 pagi, udara dingin langsung menyapa. Penumpang memilih langkah masing-masing. Saya, Fadli dan Wilco mencari taksi, tawar menawar harga pas langsung mengantar ke penginapan yang telah kami sepakati.
Terlalu pagi dan penginapan pun belum buka, terpaksa kami menunggu dua jam lebih dan merebahkan tubuh di jalan persis di depan penginapan. “Salam” ujar penjaga hotel menyapa dan mengajak masuk ke dalam penginapan. Kami memilih satu kamar dengan 3 tempat tidur dan satu kamar mandi di Kourush traditional hotel dengan harga sekitar Rp 500 ribu yang kami bagi bertiga. Penginapan di Iran cukup mahal bisa jadi akibat inflasi yang tinggi di negara ini. Berbeda dengan Tehran, cuaca kota Yazd sangat menyengat padahal ini baru spring, dan akan meningkat panasnya pada saat summer. Kota Yazd terletak di antara bukit tandus dan padang pasir, tak salah jika kota ini panas dan kering.
Sebenarnya tak banyak tempat yang bisa dikunjungi di Yazd, apalagi direkam dengan kamera. Akan tetapi kota ini memiliki daya magnet luar biasa untuk sekedar dinikmati mata dan hati bukan kamera saja. Keramahan warga, kedamaian, tawaran minum teh, wanita-wanita persia bermata indah dan anggun. Saya dan rekan tak salah memilih penginapan yang terletak di kawasan old city. Sebuah kawasan yang eksotis dimana semua bangunannya terbuat dari bata yang diplaster dengan tanah merah.
Lorong-lorong kecil seperti labirin mengajak kita untuk menyasar, sesekali memasuki terowongan yang gelap dan tiba-tiba bertemu dengan masjid jamik (jameh mosque) yang berdiri sejak abad 15 dengan dua menara dan dome yang dilapisi mosaik yang indahnya luar biasa. Kawasan ini sudah ada sejak 3000 tahun silam. Sangat unik dan nampaknya sang arsitektur kota di zaman itu sudah memahami tata ruang kota. Sistem irigasi air yang berada di bawah tanah. Sistem pintu angin yang masuk dari beberapa menara dan mengalir ke rumah-rumah penduduk di bawah tanah.
Karenanya terbuat dari bata merah dan lapisan tanah, saat musim panas warga tidak kepanasan di dalam rumah, begitu juga sebaliknya saat musim dingin. Mobil-mobil tua sangat mendominasi di kota ini berbeda dengan Tehran dan Esfahan, seolah menambah predikat kota tua. Hanya mobil city car peugeot sesekali berseliweran yang dikemudikan kaum muda. Karena asing melihat wajah Indonesia, dan sangat jarang orang Indonesia berkunjung kesini, setiap berjalan di tempat keramaian, saya harus berhenti beberapa menit untuk sekedar menjawab pertanyaan mereka dan minum teh ataupun diajak foto bersama.
Budaya Iran yang terasa berkesan bagi saya adalah keramahan mereka, menawarkan entah itu teh atau makanan kepada orang asing. Mereka sangat menghargai orang asing, membantu semampu mereka tanpa meminta balasan. Budaya seperti ini merupakan warisan dari pemimpin mereka, memberikan contoh kepada rakyat bukan sekedar kata tapi laku. Dan bahwasanya juga, meminta-minta adalah sesuatu yang hina, memang betul seperti yang saya lihat selama perjalanan ke kota-kota di Iran saya tidak menemukan pengemis.
Rasa lapar setelah nyasar, saya dan rekan memilih tempat makan di kawasan Amir Chakhmaq, tempat ritual peringatan wafatnya Imam Husin. Saya dan rekan menyepakati tempat makan yang pas sesuai kantong dan lidah. Saat asyik menunggu pesanan makanan, Valiyollah pria Yazd menghampiri kami dan memohon untuk bergabung di meja makan kami, ia mengenalkan diri dan dengan ramah dia bercerita soal Yazd. Kami pun tak menyangka ternyata ia memesan makanan yang cukup banyak kebab, salad, softdrink untuk kami. “Jangan takut, saya yang menraktir kalian, dan jangan curiga akan kebaikan saya, karena saya menghargai anda sebagai tamu Iran” ujar Valiyollah.
Kami pun tergagap dan merasa tak enak dengan keramahan Valiyollah. Entah berapa ratus rial Iran yang dibayarnya untuk sekedar meneraktir orang asing yang baru ia kenal 15 menit. Perutpun kenyang, kaki mulai berat melangkah.Valiyollah menawarkan diri untuk mengantarkan kami jalan-jalan kemana pun.
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk menolak tawarannya yang terlalu berlebihan bagi kami meskipun itu hal yang biasa bagi Valiyollah. Kami sepakat menerima tawarannya untuk mengantar kami ke penginapan. “Hei kamu orang Jepang atau Korea?”, pertanyaan yang berulang-ulang hanya dari mulut yang berbeda. Ya, pertanyaan yang selalu saya terima saat berjalan di kota Yazd. Bagi saya, itu adalah sebuah kunci komunikasi yang dibuka mereka dan saya bisa memotret mereka. Memotret di Iran, khususnya Yazd butuh trik dan intuisi. Terutama memotret kaum perempuan. Memang tidak ada larangan tertulis memotret perempuan.
Tapi sudah menjadi aturan mereka yang harus dihargai. Mungkin dengan meminta izin dulu sebelum memotret mereka, tapi hal ini tetap tidak berhasil, mereka selalu menjawab “no”. Akhirnya saya memilih memotret mereka dengan candid, atau dengan menjepret tapi posisi kamera tidak persisi di depan mata. Atau dengan membaca mimik mereka, hal seperti ini intuisi yang berjalan. Jika mereka merasa nyaman ataupun melempar senyum, saya tak perlu meminta izin untuk memotretnya, hanya sekedar berbasa-basi menyapa dan sedikit berbahasa farsi dan mereka langsung “welcome”. Mengerti bahasa farsi sedikit juga bisa mendekatkan kita terhadap objek yang kita foto entah itu laki-laki, wanita ataupun anak-anak. Ada rasa was-was juga saat beraktifitas dengan kamera di Iran.
Terlebih jika perlengkapan kamera yang digunakan menjadi pusat perhatian masyarakat. “Kamu wartawan mana?”, ujar seorang perempuan tua saat saya berbincang di pasar. Saya menyadari bahwa aktifitas saya sehari-hari berhubungan dengan jurnalistik, tapi kedatangan saya ke Iran adalah untuk travelling dengan stempel visa turis di pasport saya. Entah ada atau tidaknya “spy” yang mengamati aktifitas, saya tetap berfikiran positif dan yakin, bahwa kehadiran saya di Iran hanya untuk menikmati Iran. Saya mensetting diri saya menjadi traveler bukan seorang journo di Iran, tidak menanyakan hal-hal berbau politik, HAM, ataupun kondisi yang tengah memanas soal nuklir. Saya lebih banyak membuka perbincangan soal budaya, makanan, hobi dan seni.
Meskipun mereka membuka pembicaraan soal kondisi negara mereka, saya hanya menanggapi sehemat mungkin tidak berkomen apalagi bereaksi. Untuk memotret, saya meminimalisir cara khas wartawan foto memotret. Setiap orang memiliki pengalaman dan kesan masing-masing di dalam perjalanannya. Apa yang dirasakan belum tentu sama. Fikiran positif dalam perjalanan harus terus dibangun agar dapat menikmati makna perjalanan tersebut. Menghargai perbedaan yang ada dalam perjalanan akan menambah pemahaman bahwa kita diciptakan berbeda-beda, di tempat yang beda, dengan cara yang beda, dan menjadikan perbedaan itu sebagai bukti kebesaran-Nya untuk dihargai dan dihormati.
Dastet darnakone, Khoda hafez
Teks dan foto oleh :
Safir Makki- A full time photographer, part time traveller
Banyak-banyaklah berjalan, dengan penuh rasa hormat kepada sesama di setiap tempat, maka kita akan diperlakukan layak.