Berawal dari rasa ingin berbagi senang dan sedih dengan penduduk lereng Gunung Merapi, Boy T Harjanto berhasil menjual buku foto tentang erupsi Merapi sebanyak hampir 22.000 eksemplar dalam waktu tiga tahun, angka yang fantastis untuk sebuah buku foto indie.
Boy T. Harjanto, fotografer harian berbahasa Inggris Jakarta Globe yang bertugas di Yogyakarta merupakan salah satu dari sekian banyak pewarta foto yang meliput erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yaang menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan kehilangan tempat tinggal. Melihat secara langsung penderitaan warga lereng Merapi, timbul niat Boy untuk ikut membantu warga yang dilihatnya sedang berada dalam keadaan ‘shock‘ karena kehilangan pekerjaan, tempat tinggal bahkan tidak sedikit yang harus merelakan kepergian anggota keluarga mereka untuk selamanya. Boy pun mengamati bahwa banyak bantuan berdatangan untuk para korban erupsi Merapi, namun banyak pula yang tidak tepat sasaran. Hal ini membuat Boy semakin tergerak untuk membantu secara langsung warga di sekitar lereng Merapi melalui apa yang betul-betul dikuasainya: fotografi.
Setelah menabung sedikit-demi sedikit selama kurang lebih satu tahun, Boy mulai mengumpulkan karya-karya fotonya tentang Merapi dan mencetaknya dalam bentuk buku berjudul “Merapi 120 FPS”. Menurut Boy, ‘120 FPS’ mempunyai makna 120 frame per-satu tahun, dimana memang ada 120 foto (frame) dalam buku tersebut yang diambil dalam rentang waktu satu tahun Jawa. Pada bulan Desember 2011, Boy memberikan 500 buku cetakan pertama-nya secara gratis pada warga yang terkena dampak erupsi Merapi yang tinggal di pengungsian. Boy Mempersilakan mereka untuk menjual buku-buku itu kepada wisatawan yang selalu ramai mengunjungi lereng Merapi, dengan harapan hasil penjualan buku tersebut apat membantu perekonomian warga yang kehilangan mata pencaharian.
Diluar dugaan, buku-buku tersebut laris manis, terjual habis dalam tiga bulan, sehingga pada awal 2012, warga meminta Boy untuk mencetak bukunya kembali. Cetakan kedua buku foto Boy ternyata mengulang sukses pendahulunya hingga dalam satu tahun 8.500 eksemplar buku habis terjual. Itu pun belum seberapa, karena pada tahun 2013, Boy berhasil mencetak kembali sebanyak 10.000 buku, dan sepanjang tahun 2014 ia telah mencetak hingga 3.000 buku yang selalu ludes. Bahkan pada musim liburan, buku foto Boy bisa terjual 1.000 hingga 1.500 eksemplar hanya dalam waktu dua minggu. Tingginya permintaan juga membuat Boy menjadi lebih kreatif, ia mengembangkan bukunya dengan membuat dua versi buku lain yang diberinya judul “Merapi Volcano” dan “Erupsi Merapi” yang berisi foto-foto dari kejadian yang sama namun dengan angle foto yang berbeda.
Meski pada awalnya Boy sama sekali tidak mau mengambil keuntungan atau menerima kompensasi apapun dari hasil penjualan bukunya, namun pada akhirnya Boy tak kuasa menolak ketika warga memaksa ingin berbagi hasil penjualan buku kepadanya yang telah dianggap berjasa membantu perekonomian warga. “Mereka memberi saya Rp 7.500 hingga Rp 10.000 per-buku yang akhirnya saya kumpulkan dan saya pakai untuk mencetak ulang dengan kertas yang lebih bagus, dan foto yang lebih banyak,” kata Boy.
Kini nama Boy pun menjadi sangat populer di kalangan masyarakat lereng Merapi. Warga selalu menantikan kedatangan Boy dan buku Merapinya. Terkadang, mereka harus berebutan pada saat Boy dengan motor bebek tuanya datang membawa buku-bukunya dalam kardus bekas.
Cerita tentang Boy T. Harjanto ini menjadi contoh kecil tentang bagaimana foto dapat ‘berbicara’ dan berguna untuk membantu dan membahagiakan orang lain. “Saya hanya ingin berbagi melalui fotografi,” ungkap Boy sambil tersenyum. (Ditulis oleh : Regina Safri)
Beberapa foto karya Boy T Harjanto tentang G. Merapi :
Regina Safri, yang bernama lengkap Regina Septiarini Safri dan akrab disapa Rere adalah seorang aktivis, fotografer dan wartawati Indonesia. Ia berkarier sebagai pewarta foto di Lembaga Kantor Berita Nasional Antara (LKBN Antara)
wow. bagaimana bila saya ingin beli di Jakarta? keren