Buku Foto “Legiun” Pandji Vasco Da Gama
Oleh: Taufan Wijaya
Ada kalanya angan menjebak atau membawa kita mengembara ke tempat-tempat yang jauh. Begitu juga dengan fotografi, apalagi ketika dikawinkan dengan sebentuk puisi.
Pada buku fotografi Legiun, Pandji Vasco Da Gama melabeli halaman muka sebagai “puisi nusantara.” Puisi, barisan kalimat yang berupa sekumpulan kode untuk diterjemahkan oleh pemirsanya. Puisi dan fotografi sama-sama bisa bercerita banyak, maka bayangkanlah hibrida keduanya yang mewujud imajinasi.
Di awal buku Legiun, kita disodori foto pintu dengan sisi gelap berada di antara kita. Bagian terang berada di depan sebagai tujuan. Kecerahan, kemakmuran, memang serupa mimpi (atau mungkin ilusi) untuk melenakan kesadaran. Lalu, mungkin suatu pagi kita terbangun dan gedung yang akrab dengan kita di masa kecil telah menjelma menjadi pusat perbelanjaan.
Memaknai suatu karya foto sangat personal. Selembar imaji produksi kamera akan dimaknai beragam oleh kepala berbeda. Itu bergantung pada pengalaman, wawasan, dan budaya yang dimiliki si pemirsa.
Roland Barthes lewat bukunya Camera Lucida yang menjadi banyak acuan bahkan menyebut studium, yang membuat orang dalam kesan pertama terhadap fotografi bisa suka atau bahkan benci. Dalam studium ini pemirsa tidak banyak berpikir.
Inilah tataran punctum. Kita bisa memaknai lebih baik suatu foto ketika foto itu berdiam dalam ingatan.
Namun sesuatu yang lain muncul dari foto ketika sudah tidak di depan mata kita. Inilah tataran punctum. Kita bisa memaknai lebih baik suatu foto ketika foto itu berdiam dalam ingatan. “Akhirnya—atau di penghujung—untuk melihat fotografi dengan baik, cara terbaik adalah membuat jarak atau dengan menutup mata.” (Roland Barthes 1993, p.53)
John Berger, seorang kritikus foto kenamaan, membuat telaah menarik untuk memahami foto. Dalam “Understanding a Photograph” ia menggunakan contoh foto jenazah Ernesto ‘Che’ Guevara yang tergolek di atas usungan. Seorang perwira militer sembari menutup hidung dengan sapu tangan, mengamati tubuh tanpa nyawa yang terbujur dengan kemeja terbuka sementara seorang lainnya menunjuk bagian perut.
Foto itu disebar pada pada Oktober 1967. Dalam dua tahun sebelumnya, Che telah melegenda karena tidak seorangpun tahu di mana keberadaannya. Foto itu bukan hanya sebagai bukti bahwa Che telah meninggal pada baku tembak antara tentara Bolivia dan gerilyawan, tapi bahwa mitos tentang Che yang heroik telah berakhir.
Menurut John Berger, “Satu foto, selain merekam apa yang nampak, selalu bersama hakikatnya akan mengacu pada apa yang tidak terlihat.” (Geof Dyer 2013, p.20)
Kembali ke buku Legiun, lihatlah sebuah foto bus di satu ruangan yang sama-sama tak terurus dan bobrok. Samar-samar terlihat tulisan PERKEBUNAN XV PERSERO. Tak ada teks pengantar untuk foto ini, tapi kita bisa membayangkan bagaimana ketika belasan tahun silam bus itu menghubungkan pabrik dengan dunia luar. Membayangkan bagaimana rupa-rupa di dalamnya (yang bahkan tidak berelasi dengan wajah pekerja yang menjadi satpam dalam foto potret). Foto memang mengail ingatan kita pada sesuatu yang tak ada di dalam foto.
Sepertinya kita memang dibiarkan mengembara dengan teks puitis dan foto-foto hitam putih hingga bagian akhir. Di sanalah si fotografer akhirnya melengkapi keterangan tentang pabrik, yaitu Pabrik Gula Colomadu. Puisi, memang harus dibaca hingga larik penutup.
Tengoklah puisi “The River-Merchant’s Wife: A Letter” karya Li Po pada tahun 700-an Masehi yang diterjemahkan kemudian oleh Ezra Pound (1957) dalam bahasa Inggris. Di satu baitnya berbunyi:
…
Engkau menyeret kakimu ketika beranjak pergi.
Di pintu itu sekarang, lumut telah tumbuh, lumut-lumut yang berbeda,
Saking tebalnya hingga sulit untuk dibersihkan!
…
Puisi yang bercerita tentang kerinduan. Mungkin juga “legiun” yang dianalogikan di buku ini layaknya laskar Mangkunegaran adalah suatu kerinduan yang lain.
Bahwa figur-figur pemelihara/pejuang/prajurit akan berganti profesi lain, dan bangunan yang sarat sejarah di Solo (atau di kota-kota lain) bisa bernasib sama dengan subjek di buku ini: terempas oleh kapital.
Tapi Anda berhak menceritakan tuturan Pandji ini kembali dengan pemaknaan yang berbeda. Seperti halnya kita bisa menerjemahkan ancaman Rahwana menjadi sebentuk perasaan kasmaran pada Shinta. Foto diam memang hanyalah dua dimensi, tapi ia akan menjadi berlapis-lapis dimensi di dalam benak kita.