Lembah Kematian Juan Restrepo
Seorang reporter perang yang pernah membuat novel Best Sellers dan seorang fotografer perang peraih penghargaan World Press Photo, berbulan-bulan menyatu dalam perang hebat abad ini, merekam rasa sakit dan brutalnya perang secara nyata. Tim Hetherington dan Sebastian Junger bertualang untuk menjadi mata bagi orang-orang seperti kita yang tak mampu membayangkan kobar ketakutan di sebuah tempat bernama Lembah Korengal di Afghanistan.
Ini merupakan perjalanan panjang dan sangat mematikan. Tentang keberadan satu peleton tempur, selama satu tahun di sudut dunia yang menjadi lembah maut dan penuh darah. Menjadi kisah panjang dari bayangan kematian pada lembah batu yang menjulang.
Restrepo adalah film dokumenter yang dibuat tanpa ada skenario dan setting. Di film ini semua adalah kenyataan. Kenyataan yang sangat berbekas bagi banyak veteran Afghanistan yang memerangi Taliban untuk menangkap Osama bin Laden.
Film ini disutradarai Tim Hetherington. Fotografer Inggris yang sangat mengenal Afghanistan ini mendedikasikan banyak waktunya untuk sebuah perang maha dasyat setelah perang Vietnam. Empat belas bulan bersama mantan reporter perang handal Sebastian Junger Ia mengikuti sebuah peleton dan menyaksikan tangisan dan doa pada setiap langkah pemuda-pemuda Amerika yang tak mengenal medan bernama Korengal.
Rekam gerak yang sangat menegangkan. Kaki-kaki prajurit yang bergerak cepat, debu yang beterbangan tatkala ledakan terjadi di depan mata adalah suguhan yang sangat istimewa.
Ini bukan film penuh adegan yang diperbuas spesial efek seperti dalam film-film perang sebelumnya. Di sini semua nyata. Lensa kamera yang bergerak adalah suguhan yang mendebarkan. Suara rentetan senjata adalah melodi penuh ketegangan dan sungguh decak kagum penikmat visual menjadi sebuah kepuasan.
Berawal pada bulan Mei 2007, Hetherington dan Junger turut “berjaga” di sebuah pos intai yang namanya diambil dari seorang prajurit pada kloter pertama rotasi tempur yang tewas di Korengal, Restrepo. Berada di bukit terjal, pos yang berada pada ceruk dalam dan sangat ekstrem keadaannya adalah tempat menyerupai neraka.
Kadang aman dan senyap, namun dapat berubah menjadi medan perang yang siap menjemput kematian, demikian Junger mengibaratkan keberadaan tempat di mana Ia benar-benar hampir menangis melaluinya. “Ini adalah tempat ekstrem di mana reputasinya menjadi hantu bagi mereka yang pernah bertugas dan akan bertugas di sini, ” ujar Junger.
Restrepo bukanlah Hurt Locker yang memainkan ketegangan waktu dan drama memacu jantung hingga nafas tertahan. Film yang dibuat dengan penuh perhitungan akan resiko datangnya kematian ini adalah sebuah pesan menakutkan.
Bagi para prajurit Amerika, Korengal seakan menjadi dogma yang menakutan. Dan Restrepo untuk banyak masyarakat Amerika menjadi representasi sikap mereka yang takut akan kehilangan ayah atau anak yang mereka jadikan harapan. Seperti diutarakan Kapten Dan Kearney dalam Film ini, “Setiap orang yang tahu anda akan pergi ke Korengal pasti bertanya dan gundah. Semuanya memandang seperti kematian yang cepat. Itulah Korengal” .
Hidup dalam Restrepo bak hidup dalam sebuah helm baja prajurit penempur. Dan Hetherington dan Junger tinggal didalamnya. Keduanya berusaha tetap hidup dengan kamera yang menyala, meski teramat sulit mereka lakukan.
Dalam sebuah patroli di siang haripun, jantung tetap berdebar. Bertemu orang lokal dan berbicara dalam rumah-rumah tradisional menjadi waktu yang mendebarkan. Keramahan adalah sementara, di saat malam para prajurit seakan berhadapan dengan mereka para penduduk lokal yang berubah menjadi serigala pembunuh yang menakutkan.
Bagi penikmat visual, ini adalah sebuah pembelajaran frame-frame gerak yang sangat hidup, bila dalam Saving Private Ryan’s, suguhan spesial effect yang sempurna menjadi tontonan yang menarik. Di Restrepo hal itu menjadi sebuah jendela sebenarnya akan suasana perang yang maha dasyat, tanpa pengulangan.
Restrepo adalah karya yang berasal dari ranah fotografi, ranah di mana frame mati menjadi hidup, pembekuan cahaya yang digantikan oleh video digital yang terus berjalan. Prosesnya bagai membuat sebuah foto yang bercerita. Junger dan Hetherington berinteraksi siang dan malam bersama peleton tempur ini.
Dalam proses pembuatan film inilah, sebuah foto seorang prajurit Amerika yang menutup kepala sambil mendekap helmnya dalam ceruk tanah dihasilkan. Sebuah gambar yang kemudian menjadi simbol dari keputusasaan Amerika saat bertempur di Afghanistan.
Eksistensi Hetherington dan Junger dalam perang maha dasyat ini tidak menggiring film ini kearah politis. Keduanya hanya ingin menampilkan sebuah peleton yang hidup di area neraka dalam drama senjata yang belum juga berakhir.
Sungguh begitu mahal dan begitu menggeloranya produksi film dokumenter ini. Ada sisa luka yang tertinggal di kaki Hetherington, Ia memperolehnya saat mengikuti patroli prajurit Amerika untuk menemui penduduk lokal di lembah mengerikan itu.
Bukit menurun dan Ia terjerembab. Kakinya patah, namun Ia tetap bertahan. Terus bergerak cepat adalah pilihannya, bila melambat Ia membunuh prajurit-prajurit Amerika tersebut. Ia tak ingin menjadi beban bagi mereka yang dinanti banyak orang yang dikasihi.
Film dokumenter yang meraih Grand Jury Prize dalam Sundance Film Festival 2010 ini juga tidak hanya menampilkan sebuah hidup penuh aksi, Junger yang pernah menulis novel “best sellers”, The Perfect Storm ini juga menyuguhkan sebuah drama keseharian yang luar biasa detailnya disela-sela baku tembak yang datang setiap waktu.
Canda tawa prajurit Tempur Brigade Airbon 173 begitu lengkap disajikan. Namun keriangan menjadi sebuah ironi tatkala ia bersama Hetherington yang biasa bekerja untuk Vanity Fair memperoleh sebuah kisah lengkap dari akhir kematian seorang prajurit medis yang tewas setelah bercengkerama dengan prajurit lainnya.
Inilah kehebatan kemanusian dari dua wartawan perang yang memilih karya visual gerak untuk bersuara. Tidak hanya tegang oleh peluru yang menghujani pos mereka, Junger dan Hetherington berhasil menghentikan waktu dengan airmata melalui kisah dan kasih sayang prajurit yang menari sambil berteriak layaknya pasangan, saudara atau sahabat tercinta.
Suguhan yang sangat menjaga estetika dan sungguh penuh realita menjadikan hal yang wajar bila menemukan suara kamera terjatuh dan kemudian gambar yang terputus akibat baterai habis adalah usaha menjaga keaslian dari rekam gambar hidup alur cerita ini. Begitu juga tatkala kamera memfokuskan pada beberapa prajurit yang bersikap aneh dalam kancah perang. Bila sensor ada dalam film ini, maka terputuslah seluruh rangkaian dari kisah peleton di Korengal yang ganas.
Akhirnya, Restrepo bukan hanya sebuah visual yang merepresentasikan kegagalan perang militer Amerika di Afghanistan. Di sela-sela kehancuran ekonomi negeri Paman Sam itu, Restrepo adalah rasa sakit yang berubah menjadi bentuk penghormatan bagi mereka yang tewas dan terluka. Restrepo adalah elegi dari sembilan tahun tentara amerika bergulat dengan penderitaan yang traumatik dan mengenaskan.
Yang lebih penting, film ini menjadi panduan bagi setiap tentara yang akan datang ke tempat yang berbatasan dengan Pakistan, di mana batu menjulang bagai malaikat kematian yang siap menjemput ajal dari satu demi satu prajurit yang bertugas di Korengal… (Bismo Agung, Fotografer)
RIP Tim Hetherington
membacanya aja udah mengigil apalagi di restrepo itu