Buku foto cerita yang menarik. Saya membutuhkan waktu satu jam untuk menikmati sepuluh cerita foto di dalamnya dan sepuluh hari untuk menikmati detailnya.
Kamu fotografer?
Apa yang ada dalam imajinasimu ketika ada kata-kata Covid-19? Mungkin foto Joshua Irwandi dalam laman National Geographic adalah salah satunya.
Lainnya? Ambulance? Lorong rumah sakit? tenaga kesehatan? antre vaksin? antre mengisi tabung oksigen? Iklan cari plasma darah? kematian yang berulang dan kuburan yang penuh? kesedihan ? pasti salah dua atau salah lima pilihan di atas. Semua pesimis menuju mati.
Yang optimis, yang berjuang tetap hidup, yang berjuang agar bisa tetap makan bahkan mengubah profesi pasti terlupakan.
Kalau kita adalah golongan yang terbiasa hidup dengan internet pada abad dimana masa pandemi datang, dan menjadi jagoan menggunakan segala rupa aplikasi di smartphone dari mulai berbelanja makanan, mengolah foto, berkampanye ideologi dan siar agama melalui whatssapp, menghibur diri melalui netflix, mola, jaringan hbo, spotify dan segala kemegahan hiburan pada jaman penjelajah yang mengagungkan kecepatan gelombang listrik merambat, maka setelah membaca buku ini akan ada sebuah kesadaran baru bahwa masih sangat banyak masyarakat yang hidup primitif di batas dasar paling rendah dari kebutuhan manusia. Mencukupi makan.
Pada masa pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun ini, ada sebuah garis pemisah yang sangat jelas dan tebal meski tak terlihat, antara kehidupan kita—yang mengagungkan kecepatan gelombang listrik merambat—dan kehidupan mereka mereka itu.
Kaum kita-saya-kamu menganut kepercayaan bahwa smartphone ini adalah jalan keluar tersingkat di masa pandemi ini. Bukalah aplikasi “peduli-lindungi” kita bisa melihat kita hidup di zona merah, kuning, oranye, atau mungkin saja hijau. Dan kita bisa mengukur seberapa bahayanya lingkungan kita. Buka m-banking, maka masalah financial segera selesai. Buka lagi aplikasi, dan kita tahu, kita sudah divaksin atau baru sekali, atau bahkan belum. Buka aplikasi go-food, dan makanan hari ini segera datang. Rasa lapar yang tak sempat terasa tiba-tiba perut kenyang.
Lalu, setelah menikmati buku Pagebluk di Akar Rumput tiba-tiba saya melihat ada sebuah garis hitam tebal, yang di bawahnya ada dunia lain, penghuninya lebih banyak. Dan itu bukan kaum kita-saya-kamu.
Mereka harus hidup dalam situasi yang tidak terjangkau atau tidak bisa lagi menjangkau kemegahan energi 3G-LTE-5G merambat. Ke-sepuluh cerita dari sepuluh tempat di Indonesia ini berada dalam idiom “Bisa makan apa hari ini? Seperti yang diceritakan Amal Purnama di halaman 48. Bahkan di kota penguasa negara ini tinggal, masih ada yang bilang “biasa makan sehari tiga kali, sekarang dua kali doang biar ngirit. Pulang narik langsung tidur, biar gak kerasa laparnya.” Cerita yang disusun oleh Agoes Rudianto, halaman 20.
Nyoman Jenek Arta yang berkeputusan pulang kampung akibat pandemi bilang “semakin gengsi dipertahankan, keluarga jadi korban. Yang dulu biarlah menjadi masa lalu.” Lalu Jenek Arta meninggalkan dunia bisnis pariwisata di Pulau Bali untuk jadi buruh tani. Dari cerita yang dibuat oleh Johannes P Christo, halaman 100.
Cerita petani oleh Riska Munawarrah di halaman 5, lebih sedih lagi, “Terongnya banyak yang busuk, hasil jual bahkan tidak cukup untuk membeli pupuk.” Hasil penjualan terong M Jacob sudah tidak cukup untuk menutup biaya perawatan. Untuk makan? Mereka mencukupinya dari usaha cuci-gosok istrinya. Petani seperti profesi fatamorgana yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasar, makan tiap hari.
Buku ini tidak saja menghadirkan nafas pesimis di kala pandemi ini. Ada sebuah kesadaran yang dihadirkan oleh Suku Punan di Kalimantan, “Bagi suku Punan hutan selalu menjadi penyelamat di kala krisis.” Dibuat oleh Michael Eko, halaman 72. Dan mereka beramai-ramai meninggalkan kampung permanen mereka untuk kembali ke hutan. Mereka diselamatkan oleh hutan, yang di lain sisi makin banyak dihabisi pohonnya.
“Susah Du Datang” dibuat oleh Armin Septiexan adalah cerita tentang satpam hotel bintang empat Tudesmit Fanggidae yang harus kembali pulang kampung karena di phk dan tak dapat membayar sewa kosnya. Armin menyusun visualnya secara sederhana untuk menggambarkan kegigihan Tudesmit dalam hidup melaratnya. Nyoman Jenek Arta, Tudesmit, seperti juga masyarakat Suku Punan menjaga kewarasan cara hidupnya dengan bertahan di kebutuhan dasar manusia, mencukupi makanan.
Kesepuluh cerita ini mewakili banyak kisah penduduk Indonesia yang harus hidup diluar garis tebal kemewahan gelombang internet, yang pada hari ini mereka menjadi orang-orang yang dilupakan.
Seyogyanya buku yang sederhana ini harus dibaca oleh para anggota perlemen yang terhormat, juga oleh presiden Jokowi dan para mentrinya, atau politikus-politikus yang masih bertarung mengerek namanya ke dunia media sosial, agar kebijakan-kebijakan yang diputuskan di masa pandemi ini, tidak lagi hanya diambil dari dunia dalam lalu lintas perang opini dan kebijakan di internet, serta angka-angka statistik saja.
Ada banyak sekali keluarga di Indonesia yang hidup di luar kemegahan gelombang internet, yang hanya hidup dalam batas untuk pemenuhan kebutuhan makan pagi ini, bukan siang, malam, bahkan besok. Buku yang mudah dipahami ini menjunjukkan seharusnya semua politikus—yang berkuasa atau akan merebut kursi— membantu golongan ini, golongan jelata yang gigih, agar mereka tetap terjaga kewarasannya untuk bisa mencukupkan makanannya.
Jangan biarkan mereka jatuh dalam rasa putus asa.
Sesungguhnya, yang optimis, yang berjuang tetap hidup, yang berjuang agar bisa tetap makan dengan jalan apapun yang ber-martabat masih banyak di Indonesia. Dan buku “pagebluk di akar rumput” ini menyuarakan mereka.
Optimisme yang getir, bukan kematian dan ketakutan seperti yang banyak ber-sliweran di lini masa hari ini. Beawiharta-Pencerita visual.
Terimakasih untuk Kurawal Fondation, editor foto Muhammad Fadli dan Putu Sayoga, kesepuluh fotografer, dan semua pihak yang menghadirkan cerita-cerita ini 140 halaman ini. Kalian luar biasa.