Oleh: Zulkifli
Tanpa disadari, perubahan iklim telah menjadi permasalahan besar yang dihadapi bumi. Dimulai dengan naiknya permukaan air laut yang menyebabkan meluasnya abrasi di sepanjang pesisir. Saat hujan badai datang bersamaan dengan air pasang, maka gelombang air siap menghantam dan menghempaskan apa pun yang ada di sekitarnya. Inilah ancaman nyata yang dihadapi oleh para penduduk pulau-pulau di dunia. Tak terkecuali Indonesia yang dikelilingi 16.056 pulau.
Pesisir utara Pulau Jawa adalah salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak abrasi di Indonesia. Dalam lima belas tahun terakhir, 6.000 hektar lahan di daerah pesisir ini lenyap dikikis air laut. Akibatnya, perkampungan di pesisir utara makin menyempit dari tahun ke tahun. Hal ini memaksa penduduk mau tidak mau beradaptasi dengan perubahan lingkungan ini. Di masa lalu, warga Desa Pantai Bahagia pernah merasakan puncak kehidupan yang gemilang. Hasil tambak melimpah ruah. Kapal-kapal dari pesisir Jakarta ramai berdatangan untuk membeli ikan-ikan segar milik penduduk desa.
Pada masanya, desa di bagian utara Kabupaten Bekasi ini dikenal dengan sebutan Kampung Dolar. Namun, gelombang air pasang perlahan mengusik kenyamanan hidup mereka. Bencana itu dimulai dua belas tahun lalu ketika banjir dari laut mengejutkan seisi kampung. Ombak laut bergulung tiada henti menghantam pintu-pintu rumah. Tambak-tambak ikan karam dihempaskan gelombang. Masjid dan bangunan sekolah luluh lantak. Bibir pantai semakin mendekat ke pemukiman warga.
Setengah kehidupan penduduk desa hancur lebur oleh banjir yang luar biasa. Desa ini begitu rapuh menjadi incaran gelombang pasang yang datang tak kenal waktu. Sebagian warga memilih pindah. Namun, masih ada yang tetap tinggal di tanah dimana mereka lahir dan dibesarkan. Mereka yang bertahan adalah potret duka lara dari perubahan iklim yang menyesakkan. Desa Pantai Bahagia adalah teguran untuk kita, untuk dunia, untuk lebih peduli pada alam, pada lingkungan di sekitar kita.
Zulkifli
Lahir di Kerinci dan mempelajari fotografi secara otodidak sejak 2009. Saat ini ia bekerja sebagai fotografer dokumenter dan penulis lepas. Beberapa karyanya
telah dipublikasikan oleh The Guardian, The Washington Post, Los Angeles Times, Der Farang, DestinAsian Indonesia, dan National Geographic Traveler Indonesia. Zulkifli juga merupakan salah seorang pendiri Sore Rabu Project dan aktif di ruang diskusi di Sumatra Barat.