Ini adalah bagian kedua membumikan preferensi fotografi kita dengan dua sumber daya yang lain yaitu waktu dan uang. Jangan sampai terbuai oleh godaan-godaan hasil foto yang indah tanpa anda memikirkan prosesnya. Proses pertama tentunya menyangkut pengadaan alat dan biaya-biaya untuk melakukan melaksanakan kegemaran ini.
Alat yang esensial adalah kamera. Untuk masalah memilih kamera ini banyak jebakan-jebakannya yang berujung pada bolongnya kantong kita alias bokek. Jebakan pertama adalah soal pixel. Pixel alias picture element adalah satuan untuk mengukur besaran imaji digital. Makin besar kemampuan sensor untuk menangkap pixel umumnya berbanding lurus dengan besarnya imaji yang dihasilkan.
Hingga akhir tahun lalu kita masih mendengar perlombaan pixel di dalam industri kamera yang berlomba menghasilkan sensor dengan ukuran lebih besar yang berarti lebih bagus atau lebih hebat. Banyak juga fotografer yang kemudian mengincar sensor yang besar dengan asumsi fotonya akan lebih bagus.
Sampai derajat tertentu, asumsi itu benar. Artinya ada minimal pixel yang diperlukan untuk menghasilkan foto yang bagus, menunjukkan cukup banyak pixel yang tertangkap untuk menampilkan detil gambar, saturasi warna, hingga menghilangkan fringement foto pada situasi intensitas cahaya rendah. Namun tentunya ada juga besaran optimal dari pixel untuk kegunaan fotografi itu sendiri.
Berapa besaran pixel yang optimal? Tidak ada angka yang pasti, semuanya tergantung kegunaan. Anda harus kembali pada penggunaan foto-foto yang dihasilkan. Sebagian besar foto yang kita hasilkan berujung untuk display pada layar monitor komputer, baik itu di monitor kita ataupun monitor orang lain saat kita berbagi foto itu melalui jejaring sosial. Untuk memenuhi layar monitor saat ini, resolusi yang umum adalah 1280 x 800 pixel. Ukuran sebesar itu sudah bisa dipenuhi oleh sensor sekecil 3 Megapixel, bahkan kurang.
Sebagian orang akan bertanya, apa kita tidak sebaiknya memotret dengan kamera dengan sensor sebesar mungkin? Jika filenya dibutuhkan untuk cetak besar 20R guna pameran bagaimana? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita sebaliknya bertanya kepada diri sendiri: berapa banyak kita mencetak foto dalam setahun atau dua tahun terakhir? Seberapa besar cetakannya?
Saya yakin sebagian besar orang tidak mencetak lebih besar dari ukuran 10R. Untuk mencetak sebesar itu sensor sebesar 6 Megapixel sudah cukup. Kalaupun ingin lebih sempurna gambarnya dan bisa mencetak sebesar ukuran A3 (297mm × 420mm) dengan ukuran 10-11 Megapixel sudah bisa tercapai.
Sampai di sini sebetulnya sudah cukup batasan besar pixel sensor yang umumnya kita butuhkan. Saat ini banyak iming-iming industri fotografi dengan embel-embel kategori kamera “prosummer” dan menaikkan kapasitas sensornya hingga 16-18 mega pixel. Sungguh, kecuali anda benar-benar ingin mencetak ukuran besar lebih besar dari A3 atau menjadi profesional, tidak perlu termakan oleh iming-iming itu.
Jebakan kedua adalah teknologi. Kita akan membicarakan dua contoh jebakan teknologi di sini. Pertama adalah hype soal HDR (High Dynamic Range), yang mana teknologi mencoba mensimulasikan kemampuan mata kita dalam menangkap spektrum intensitas cahaya dalam suatu adegan.
Mata kita mempunyai sensor yang luar biasa hingga bisa menangkap intensitas cahaya sebuah benda dalam bayangan di bawah terik matahari siang bolong. Sensor kamera hingga saat ini masih menyerah dalam kondisi intensitas cahaya yang ekstrem perbedaannya. Untuk itu dipakai teknologi HDR dengan mengambil sebuah adegan yang sama berulang kali dengan variasi penyerapan cahaya yang berbeda-beda.
Biasanya cahaya intensitas tinggi, intensitas sedang dan intensitas rendah yang direkam. Kemudian hasilnya dikomputasi dan digabungkan sehingga mendapatkan sebuah foto yang menangkap intensitas tinggi sampai rendah di dalam sebuah adegan yang kontras cahayanya besar.
Teknologi ini berguna, tetapi jangan sampai termakan kecap industri fotografi dengan adanya HDR ini masalah kontras yang besar dalam foto bisa diatasi. Dalam keadaan tertentu HDR sangat bermanfaat untuk foto-foto pemandangan dan foto-foto keadaan yang still lainnya (arsitektur dan lain-lain).
Apabila anda senang memotet keadaan yang dinamis seperti manusia dan polah tingkahnya, peristiwa kemanusiaan ataupun olahraga, jangan berpikiran HDR akan membantu. Karena HDR digunakan dengan mengambil foto beberapa kali dan mensadwichnya di dalam prosesor. Jika sebuah adegan obyek bergerak, ia akan menjadi seperti multiple shots dalam satu frame atau time lapse photography. Tentunya anda tidak ingin ini terjadi pada foto anda. Mungkin suatu saat teknologi HDR bisa dikemas dalam satu kali pengambilan, nah itu saatnya kita menggunakannya secara optimal.
Contoh jebakan teknologi lain adalah perkembangan kamera 3 dimensi saat ini. Teknologi 3D adalah sesuatu yang baru, dan sebagai teknologi yang layak dikonsumsi sebetulnya masih prematur. Namun tuntutan persaingan industri mengharuskan para produsen untuk berlomba menghadirkan teknologi dan terkadang konsumen menjadi seperti “kelinci percobaan” untuk mengetes produknya.
Menghadapi tawaran teknologi canggih itu, tidak ada cara selain bersabar dan mengikuti perkembangan teknologi tersebut hingga cukup “matang” di tingkat konsumen, artinya kemudahan penggunaan, format yang universal dan lain-lain. Itu pun setelah matang harus kita timbang lagi apakah kita memang membutuhkannya?
Sebelum kita bahas jebakan ketiga dalam memilih kamera, patutlah dicatat bahwa jebakan-jebakan ini bukanlah sesuatu yang dibuat oleh industri fotografi dengan sengaja untuk memperdaya konsumen. Industri fotografi memang mau tidak mau harus mengembangkan pemasaran produknya sedemikian rupa sehingga berlebihan, karena industri fotografi itu sendiri mengalami perubahan besar. Kalau di produk elektronik kita mengenal konvergensi, hal itu merambat pula ke produk kamera.
Dahulu kita hanya mengenal beberapa merek kamera saja, seperti Nikon, Canon, Pentax, Olympus, Hasselblad, dan lain-lain. Kita mengenal Sony, tetapi sebagai peralatan video, juga Samsung sebagai peralatan elektronik. Karena teknologi digital, yang terjadi sekarang adalah konvergensi (pembauran) dalam industri –terutama– elektronik. Industri kamera pun sekarang dasarnya adalah industri elektronik yang memakai sarana optik (lensa).
Handphone (hp) bisa buat memotret, kamera still bisa merekam suara dan video, bahkan menjadi GPS. Pabrik kamera terbesar, paling tidak dua tahun lalu, bukanlah Nikon atau Canon, melainkan Nokia. Karena tiap hp yang dibuat memiliki kamera. Bahkan GE (General Electric) pun sekarang membuat kamera digital.
Dengan mudah dan murahnya memotret, pasar kamera digital juga meledak beberapa tahun terakhir. Namun dengan harga murah, tingkat keuntungan juga menipis dan daur hidup kemajuan teknologinya memendek. Akhirnya mau tidak mau mereka berlomba menawarkan fitur-fitur baru tiap bulan, bahkan tiap pekan.
Konsumen banyak yang diuntungkan, tapi banyak pula yang dirugikan. Yang diuntungkan adalah yang bisa memilih, karena punya informasi yang cukup. Yang dirugikan adalah yang tidak bisa memilih karena tidak punya informasi atau terlalu banyak informasi sehingga kebingungan.
Kita ambil contoh pemilihan kamera pertama bagi seorang pemula. Banyak orang yang ingin belajar fotografi memiliki kamera point and shoot (poket). Di jaman fotografi analog pemula tidak sesulit kelarang memilih kamera poket. Saat itu hanya ada dua jenis, yang lensanya fixed (biasanya 35mm) atau yang lensanya zoom.
Saat ini kamera pocket digital dibagi lagi untuk yang: pemula awam; yang pemula tapi stylish (biasanya ditandai dengan desain menarik, atau warna yang atraktif); yang pemula mahir ditandai dengan fungsi manual atau fitur lebih lengkap, body metal; sampai pemula yang suka jalan-jalan dengan fitur body tahan banting dan tahan siraman air.
Untuk yang SLR (single lens reflex) pun saat ini terbagi-bagi pula. SLR terbagi pada tingkatan pemula, lanjutan hingga profesional. Yang tingkatan pemula biasanya mudah ditandai dengan mteod penjualan bundling alias paket body plus lensa. Nah saat ini bahkan untuk kamera-kamera SLR yang di tingkat lanjutan dan profesional pun ditawarkan dengan bundling. Gejala apa ini?
Jika para fotografer profesional dan mahir yang ingin mengupgrade kameranya dengan model yang lebih baru, mereka rata-rata sudah memiliki lensa yang cukup. Jadi pembelian pun hanya body kameranya saja. Artinya, banyak pemula yang terjebak untuk membeli kamera guna belajar dengan membeli kamera untuk tingkat lanjutan secara bundling. Pemula seperti ini biasanya memiliki banyak uang dan menganggap dengan membeli kamera mahal fotonya akan menjadi lebih bagus.
Di bawah ini sekilas pembagian kamera digital saat ini. Bila ada yang kurang jelas silakan tanya, atau tunggu ulasan berikutnya. (Tantyo Bangun)
Tantyo Bangun is a photographer, writer, and film maker. Recently he resides in Brussels, Belgium –after 5 years as Editor in Chief at National Geographic Indonesia Magazine. He is interested in geography, history and culture; nature and environment, science and technology innovation. He also travel regularly to documenting the grandeur of Indonesia.