Memotret dengan kamera telepon selular kini dilakukan oleh para pemilik gawai. Semua orang menjadi fotografer. Dunia fotografi belum pernah semeriah saat ini. Setiap individu bebas memotret apa yang mereka suka.
Selain menjadi media perekam, gawai kini menjadi alat untuk berkreasi, merekam imaji dan menyiarkannya ke media sosial.
Buku foto LITE karya Yuniadhi Agung (Instagram: @yuniadhiagung) menyajikan foto-foto dari kamera gawai yang menemani aktivitasnya sehari-hari. Yuniadhi Agung merekam apa saja yang menarik bagi matanya. Kamera gawainya menangkap permainan bayangan, komposisi, dan warna menjadi deretan foto yang unik.
Melalui LITE, Yuniadhi Agung merayakan fotografi yang kian ringan…dan seru.
Membuka Batas Fotografi
Oleh Arbain Rambey
Fotografi itu adalah hal yang membicarakan “batas”. Mana tepi atas, mana tepi bawah, mana tepi kiri dan mana tepi kanan. Sebuah foto menjadi indah dan bagus karena batasnya jelas. Pemandangan yang bagus akan tampak buruk kalau difoto dengan batas-batas tidak jelas: pohonnya terpotong, horisonnya miring, atau danaunya cuma tampak secuil, dan sebagainya. Keahlian seorang fotografer akan tampak dari caranya mencari batas pada foto yang dibuatnya, atau dalam bahasa kerennya: sang fotografer jago bikin komposisi. Jadi, salah sartu elemen penting dalam fotografi memang komposisi yang sampai kapan pun tidak bisa dibuat Auto.
Yuniadhi Agung, fotografer Kompas, kembali menerbitkan buku fotonya. Dan dalam buku yang ini, Agung benar-benar main “batas”. Foto-foto yang dihasilkannya sungguh-sungguh memainkan komposisi, bahkan dalam tatanan sangat sempit: area yang dibatasinya sungguh area-area kecil. Yang disebut berlatih fotografi adalah “menemukan” apa yang akan dipotret. Pemula akan menemukan pemandangan-pemandangan luas, sementara kalau makin sering memotret seorang fotografer akan makin menemukan “pemandangan” dalam area lebih kecil, lebih kecil dan lebih kecil lagi.
Buku Yuniadhi Agung ini bukan cuma memberi kita penyegaran mata, tetapi juga memberi kita opsi dalam melihat. Area-area sempit yang dipotret Agung akhirnya membawa kita untuk melihat area-area yang lebih besar dengan pemahaman baru tanpa kita merasa didikte.
Arbain Rambey – Fotografer Profesional
_____________
” Melihat buku LITE sulit untuk membayangkan Yuniadhi Agung seorang wartawan foto Kompas karena ia bukan bercerita atas gagasan rapat redaksi. Disini, dia berkisah tentang bayangan, tentang cahaya, dan tentang dirinya sendiri. Agung menguasai gawai seperti dia menguasai hatinya.”
Beawiharta, fotografer Reuters
———————————
LITE: Mata Kamera Yuniadhi
oleh Mumu Aloha*
Teknologi senantiasa menghadirkan paradoks. Di satu sisi, dengan segala kemudahan dan fasilitas yang ditawarkannya, ia diterima dan dirayakan dengan massif dan gagap gempita. Bahkan, pada batas tertentu, tanpa kritisisme apapun. Namun, di sisi lain, ia juga memberikan semacam perasaan terasing. Dalam komunikasi, gejala semacam itu barangkali mulai terlihat dan terasa akhir-akhir ini, ketika orang mulai merindukan kembali suasana guyup dari tatap muka langsung. Telah sekian waktu pergaulan sosial didominasi oleh interaksi media sosial dan grup-grup Whatsapp. Ketemu (langsung) teman-teman lama, dari zaman sekolah dulu, menjadi terasa begitu istimewa.
Dalam seni, misalnya fotografi, kemajuan dan kecanggihan kamera membuat sejumlah seniman mulai “menjaga jarak”. Ada keinginan untuk bereksperimen, atau sekedar bernostalgia, dengan zaman ketika segalanya masih berbeda, belum serba mudah. Fotografer Paul Kadarisman, pada 2003, menggelar pameran foto hasil jepretannya dengan kamera instax polaroid. Pameran bertajuk ‘Beby and Resti’ yang digelar di Japan Foundation, Jakarta itu menghadirkan nuasan masalalu, suasana santai keseharian, liburan, yang barangkali telah lama “hilang” dari objek para fotografer profesional dengan “perangkat perang”-nya yang serba hebat, bergelantungan di pundak, berat.
Jeda. Mungkin itu yang diperlukan oleh seorang seniman, ketika menghadapi perubahan yang cepat dan tak terduga. Mengambil waktu sesaat untuk berhenti, menoleh kembali ke belakang, mengunjungi tempat-tempat yang telah tertinggal, memunggut remah-remah yang telah dibuang. Sejenak menjaga jarak dari kekinian yang menenggelamkan dengan segala kemudahan, dan tawaran yang nyaris tiada batasnya. Mau memotret kerumunan demonstrasi berjuta manusia di Lapangan Monas agar menghasilkan gambar yang dramatis. Tinggal pakai drone, habis perkara. Namun, bukan seniman sejati kalau membiarkan dirinya terlena, bahkan kemudian lupa diri, lupa pada akar, lupa pada zaman ketika segalanya masih sederhana. Kita sekarang ada, bisa mencapai apa yang kita capai saat ini, karena proses, karena buah dari perjalanan yang tak mudah. Untuk itulah, jeda diperlukan, menjaga jarak sesekali penting dilakukan, untuk melihat kembali, dari mana kita dulu, ada di mana kita saat ini, dan akan melangkah ke mana nanti.
Yuniadhi Agung, seorang pewarta foto profesional dari sebuah harian besar, seniman pelukis cahaya, menyadari betul kebutuhan itu. Sebagai fotografer yang sehari-harinya bersenjata kamera mahal dan canggih untuk keperluan pekerjaannya, sesekali terselip keinginan untuk mundur sejenak, melihat dengan cara lain, dari sudut lain, dengan alat yang lain. Sejak telepon selular dilengkapi dengan fitur kamera, dari yang sederhana hingga yang berkekuatan dahsyat, setiap orang kini bisa menjadi “fotografer”. Bagaimana rasanya menjadi “setiap orang”, yang merayakan teknologi tanpa harus secara khusus kuliah di Jurusan Fotografi ISI? Betapa menyenangkan, dan tentu saja “mudah”, aktivitas fotografi saat ini, dan Yunuadhi ingin juga ikut berada di situ, bersama “orang kebanyakan”. Menjepret sebuah objek tidak dengan pretensi untuk berebut ruang di halaman pertama koran, atau mengejar momen dengan ketentuan dan deadline, melainkan, ya, sekedar cekrek, cekrek, cekrek, lewat sebuah alat dalam genggaman satu tangan.
Dalam bahasanya sendiri, Yuniadhi ingin ikut “merayakan fotografi yang kini semakin ringan”. Ringan dalam arti harfiah, seringan ponsel di genggaman. Juga, ringan dalam beban dan tuntutan, karena dengan telepon selular, Yuniadhi bisa melepaskan atribut ke-“fotograferprofesional”-nya: yang dihadapinya sama dengan “setiap orang”, yakni keterbatasan fitur, yang membuatnya lebih ringan dalam berpikir, memotret apa yang menarik tanpa perlu banyak perhitungan. Dengan kata lain, Yuniadhi merindukan apa yang selama ini dipuja dan menjadi mantra kaum seniman: kebebasan.
Apakah sebagai fotografer profesional dengan perangkat kamera mahal nan canggih dan berat membuatnya tidak bebas? Dalam batas tertentu, jelas iya. Minimal, dalam konteks itu, ia tak bekerja sendirian: ada editor yang akan menyeleksi fotonya “layak muat” atau tidak, dalam terminologi jurnalistik. Kamera ponsel, dengan demikian, menjadi pelariannya, dari tuntutan pekerjaan yang penuh batasan, syarat, dan aturan, namun mau tak mau telah menjadi rutinitas.
Pertanyaannya sekarang, setelah sekian lama mengakrabi kamera mahal nan canggih dengan bekal teori-teori akademis sakral, apa yang terjadi ketika ia kemudian mencoba “membebaskan dirinya” dengan kamera ponsel? Benarkah ia lantas bisa mengesampingkan berbagai pemikiran dan perhitungan tentang objek, komposisi, tata cahaya, warna, perspektif, pola dan sebagainya yang biasanya bergelung di kepalanya saat memotret? Hasilnya, bisa dilihat dan dinilai oleh pengamat terhadap hasil jepretan Yuniadhi yang terhampar dalam proyek yang dia beri nama LITE.
Menghimpun lebih dari 100 karya foto yang dihasilkan dengan kamera ponsel, LITE memperlihatkan bermacam kesan dan makna, dari soal kreativitas, main-main, hingga eksperimen dari seorang seniman foto. Namun, kesan yang paling menonjol adalah keinginan untuk bersenang-senang, melepas beban, membebaskan diri, dan menjaga jarak dari bermacam aturan, tuntutan dan batasan. Namun, seniman tetaplah seniman. Seorang fotografer profesional seperti Yuniadhi tetaplah fotografer profesional, apapun alat yang digunakannya. Foto-fotonya tetap “nyeni”, penuh ekspresi, dan berbeda dengan foto-foto ala kamera ponsel pada umumnya yang bertebaran di media sosial, atau di-share di grup-grup WA yang kita ikuti.
Lihat, misalnya, bagaimana Yuniadhi membidik pucuk-pucuk gedung, atau pucuk pohon pepaya, atau orang-orang di mall, di jalanan dan di elevator. Lihat, bagaimana Yuniadhi memotret sepeda dengan bronjong di boncengan, yang tersadar di tembok. Lihat bagaimana Yuniadhi menjepret benda-benda seperti stop kontak dan saklar listik, manekin di departement store, pohon dalam pot di sebuah lobi gedung, mobil yang sendirian di parkiran, atau pun bak sampah di depan sebuah grafiti. Bahkan, lihat bagaimana Yuniadhi “menampilkan kembali” objek-objek yang popular seperti Patung ‘Selamat Datang’ di Bundaran HI. Apapun yang ada di tangannya, entah itu kamera berat, mahal dan canggih maupun kamera ponsel, ada yang tak berubah: mata kamera Yuniadhi sendiri.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah benda mati. Kepekaan dan referensi penggunanyalah yang membuatnya menjadi berbicara, bernilai, dan punya makna. Lewat LITE, Yuniadhi ternyata tak hanya sekedar ingin menjaga jarak, lari dari rutinitas, atau pun bersenang-senang, merayakan fotografi yang telah menjadi sesuatu yang ringan. Lebih dari itu, disadari atau tidak, ia ingin mengatakan kepada kita bahwa secanggih apapun alat, ia tergantikan. Ia bisa kita singkirkan. Sebab, kitalah yang menentukan. Kita yang berkuasa atas alat itu; ya, kita dengan segenap hasrat cipta, rasa, karsa, dan keisengan atau kesungguhan kita. Kita yang tak tergantikan.
*Mumu Aloha editor di sebuah media online
—————————
Serba “Art of…” Ala Yuniadhi Agung
Yuniadhi Agung (YA) bisa jadi adalah orang yang kesekian kali merayakan hadirnya gawai berkamera dengan ketajaman optis dan kemampuan teknis yang sangat memadai. Kemadiran gawai berkamera seperti yang disebutkan tadi, di satu sisi cukup menggelisahkan, namun di sisi lainnya merupakan sarana pembuktian seseorang akan visinya secara fotografis. Menggelisahkan karena muncul aggapan bahwa sekarang, “everyone” is photographer, dan dapat menghasilkan imaji fotografis yang baik, setidaknya secara teknis. Menjadi ajang pembuktian visi seseorang manakala beragam kelebihan gawai berkamera itu dapat didayagunakan untuk “berbicara” dengan bahasa fotografis.
Itulah yang saya baca dari karya-karya YA dalam LITE kali ini. Tanpa perlu keraguan, mari kita nyatakan bahwa karya-karya dalam LITE ini adalah sebuah peragaan YA tentang bagaimana menerapkan seni pada foto-fotonya, terlepas seberapa berat dan ringan piranti yang digunakan. Dengan gawai berkamera yang ia gunakan, YA memperagakan banyak hal yang membutuhkan kemampuan memperagakan seni. Katakanlah the art of seeing; the art of choosing, the art of composing, the art of teeling, the art of feeling; dan lain-lainnya secara fotografis. Gelap-terang, sharp-blur, miring-lurus, warna-warni karya-karya YA secara formal/ kebentukan visual, sepenuhnya akumulatif dan intensional. Perlu kecakapan bertutur untuk itu. Inilah yang belum tentu dimiliki oleh “everyone” yang kita sebut di awal.
LITE menjadi wahana pembuktian bagi YA bahwa memotret yang bermakna tidaklah semudah dan seringan menyentuh tombol rana di gawai. Dalam tataran ini, fotografi masa kini tetaplah seperti fotografi yang masa dulu; fotografi tidaklah berubah. Butuh kepekaan rasa, internalisasi pengalaman, dan kreativitas. Di balik kegembiraan, tersaji jejak-jejak kekuatan. Itulah LITE.
Dr. Irwandi, Ketua Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
__________
Yuniadhi Agung adalah co-founder 1000 Kata. Sehari-hari berprofesi sebagai fotojurnalis di harian Kompas. Karya-karya fotonya dipublikasikan dalam buku foto Mata Hati: Kumpulan foto Kompas, Cincin Api, Melihat Indonesia, dan Kompas Unpublished. Bersama 1000 Kata menerbitkan 2 buku foto, yaitu NESW (North East South West – tahun 2014) dan #IniNegriku (2016). LITE adalah monogram pertamanya.