Tulisan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara, Oscar Motuloh, yang berjudul
“Mengamankan Mata Jokowi” (http://antarafoto.com/artikel/v1450495075/mengamankan-mata-jokowi) Sabtu pagi yang lalu ketika merespon penurunan 5 foto dalam pameran “Setahun Kerja Jokowi”, mengingatkan saya pada sebuah periode beberapa tahun yang lalu di Indonesia.
Pada masa itu ada seorang menteri di sebuah kabinet yang terkenal dengan frasanya, “atas petunjuk bapak presiden”. Saya masih mengingat kata-kata lainnya dari pak Menteri yang juga pimpinan MPR itu di depan sidang MPR/DPR tahun 1998, Ia pernah berkata “Bahwa ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003. Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003.” Kata-kata indah itu melupakan realita kritis yang terjadi di dalam masyarakat pada masa itu, karena pada kenyataannya lalu terjadilah gelombang reformasi. Yang kemudian pimpinan MPR yang sama menyatakan bahwa ia sebagai pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta presiden mengundurkan diri.
Kejadian ini mirip dengan penggambaran Oscar Motuloh pada alinea terakhir tulisannya “Bukankah perlindungan yang berlebihan atas pengamatan seorang presiden justru bisa membutakan hatinya?!”
Saya, sebagai kurator pameran ini, terkejut dengan hilangnya 5 foto dari 80 foto yang dipamerkan dalam pameran “Setahun Kerja Jokowi” sesaat setelah pembukaan yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Sebagai wartawan
yang juga bertugas di lingkungan istana, saya paham betul atmosfer di sana. Atmosfer itu berbeda sekali dengan masa-masa presiden Indonesia sebelumnya.
Suasana liputan di dalam lingkungan istana masa kini terasa sekali lebih akrab, lebih egaliter, meskipun tetap tertib dan rapi. Akrab, tertib, bertanggungjawab. Itulah sebabnya tidaklah sulit bagi saya mengkurasi foto teman-teman untuk pameran “Setahun Kerja Jokowi” serta pembuatan katalognya.
Saya merasakan ada “jiwa” berbeda yang hadir dalam foto teman-teman yang akan saya pilih dalam pameran itu dibandingkan foto-foto yang pernah ada beberapa tahun yang lalu. Jiwa manusia yang akrab terlihat di banyak foto. Ada berbagai ragam foto presiden akrab dengan rakyatnya, juga di beberapa foto keakraban itu dimata saya seolah seperti berucap “ini lho, tetanggaku, yang sekarang sudah jadi presiden”. Demikian juga foto menteri-menteri yang terlihat akrab dengan lingkungan kerjanya, menteri joget dengan bawahannya, ibu mentri yang selalu tampil apa adanya. Saya melihat sekat-sekat birokrasi kaku mulai mencair. Komunikasi terasa lebih menyenangkan.
Foto-foto dengan nilai humanis tinggi tersedia banyak, termasuk foto anak kecil yang dengan bangganya berpose dengan mobil RI-1 yang diabadikan oleh pewarta Faisal Fanani dari liputan6.com. Atau foto Wisnu Widiantoro dari Kompas saat presiden bersarung. Atau rangkaian foto-foto anggota kabinet kerja Jokowi, seperti Menteri Anies Baswedan berjoget dengan staffnya, Atau foto pak Pratikno yang berbicara sangat dekat dengan pak Luhut Panjaitan. Lebih jauh ke belakang ada juga foto karya Panca Syurkani dari Media Indonesia, dimana seorang bapak menggendong anaknya memanjat panggung hanya untuk berjabat tangan dengan presiden. Semua menggambarkan keakraban.
Selain semua bentuk keakraban, sebagai pewarta foto yang bertanggungjawab kita juga harus menampilkan realitas kritis di masyarakat. Berbagai persoalan yang timbul akibat dibakarnya hutan, asap yang mengganggu pernafasan masyarakat Pulau Kalimantan dan Sumatra. Berbagai persoalan KPK, protes-protes atas kebijakan pemerintahan
adalah hal-hal yang harus hadir di dalam pameran ini. Sesaat sebelum presiden Jokowi datang untuk membuka pameran hari Jumat sore, saya didatangi beberapa utusan dari Setpres. Mereka bertanya, apa mungkin 2 foto diturunkan dari pameran? Saya jawab “mungkin saja, tetapi harus dengan alasan yang masuk akal.” Misalnya, pak Presiden tidak senang atau foto itu dianggap tidak sopan atau dianggap asusila. Saya dengan senang hati menurunkannya.” Sebagai seorang kurator, pilihan foto saya terbuka atas segala kemungkinan. Termasuk diturunkan dari pameran. Setelah beberapa saat kemudian pihak Setpres mengutarakan bahwa mereka tidak ingin foto-foto itu diturunkan. Tampilkan apa adanya, begitu penjelasan mereka. Jadi tak ada hambatan lagi dalam pameran.
Pada saat yang hampir sama Kepala Staf Presiden Teten Masduki, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tiba di lokasi dan berkeliling serta mengamati foto-foto yang dipamerkan. Mereka lalu tertawa-tawa melihat foto-foto itu, termasuk beberapa foto protes (yang kemudian diturunkan), dan Teten Masduki mengatakan tak ada masalah dengan foto-fotonya. Tidak lama kemudian presiden Jokowi datang dan membuka pameran. Acara berlangsung lancar dan bapak presiden berkeliling melihat pameran dengan rute yang dipersingkat. Setelah presiden Jokowi meninggalkan acara, barulah kami sadar bahwa rute yang dipersingkat itu merupakan rute untuk menghindari ke-lima foto yang diturunkan dan disembunyikan di dalam lemari di Museum Mandiri. Beberapa teman melihat foto-foto itu diturunkan oleh paspampres, tetapi atas arahan siapakah? Atas perintah siapa?
Yang menjadi pertanyaan saya sebagai kurator, apa artinya dialog antara kami dengan Setpres diawal sebelum pembukaan? Dialog itu tidak menemui jalan buntu, dialog itu terbuka. Tetapi lalu ada gerakan senyap penurunan foto setelahnya. Apakah arti kelima foto-foto yang dihilangkan itu? Di antaranya adalah foto aktivis relawan Jokowi yang menolak Komjen Budi Gunawan dijadikan Kapolri saat berseteru dengan KPK. Juga foto yang terkenal dengan nama Aksi Kamisan karena dilakukan tiap hari kamis. Apalah arti foto protes Kamisan di depan istana, yang aksi itu sendiri masih berlangsung hingga saat ini di setiap hari kamis di depan istana. Foto-foto yang diturunkan itu adalah sebuah realitas kritis. Foto-foto yang sudah tampil di medianya masing-masing itu hanyalah pengingat, bukan hujatan. Saya sendiri tidak mengkatagorikan kelima foto itu sebagai hal berbahaya. Sebagai seorang pewarta foto yang sudah memotret dan memilah foto sejak jaman sebelum reformasi, saya paham betul akan bentuk foto-foto berkatagori berbahaya, foto yang direkayasa, dimanipulasi, maupun foto hujatan. Kelima foto ini bukan masuk katagori hujatan.
Kita saat ini hidup dalam jaman pers merdeka. Pers merdeka harus menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol sosial masyarakat atas jalannya pemerintahan. Pers merdeka juga harus bertanggungjawab dan ikut mengabarkan jalan berlubang yang mesti diperbaiki pemerintahnya. Pers bertanggunjawab bukanlah mempersembahkan sebuah berita penuh puja-puji yang kemudian mempercepat jatuhnya presiden ke dalam jurang kegagalan. Kita pers Indonesia menghadirkan fakta dan realitas kritis, bukan hanya puja-puji.
Sebab, seperti yang sering sekali saya katakan kepada anak remaja saya yang sedang tumbuh, puja-puji itu racun yang manis. Dalam pameran Setahun Kerja Jokowi ini, saya dan teman-teman pewarta foto, tidak ingin menghadirkan racun yang manis buat presiden kita, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu di dalam sidang MPR tahun 1998.
Jakarta, Desember 2015.
Beawiharta
Kurator Pameran “Setahun Kerja Jokowi” – member of 1000kata