Rika, 23 tahun, seorang wanita pria atau waria yang sehari-hari bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Meski sudah divonis positif mengidap HIV sejak 2008 lalu, ia masih belum bisa meninggalkan bisnis seks karena sulit baginya mencari uang dari pekerjaan lain.
Memang, dengan hanya berbekal ijazah SD, tak mudah bagi waria asal Medan ini untuk memperoleh pekerjaan formal. Status sosial sebagai waria membuatnya kerap mendapat diskriminasi.
Rika lari ke Jakarta karena malu dengan hinaan dan penolakan dari warga sekitar bahkan keluarganya sendiri. Demi bertahan hidup, di usia yang kala itu masih 13 tahun, ia bekerja sebagai penjaja seks.
Bertahun-tahun hidup sebagai waria di Jakarta, Rika sudah pernah mengalami dikejar-kejar petugas keamanan, mendekam di penjara Pondok Bambu, dan yang paling mengerikan hampir kehilangan mata kirinya akibat berkelahi dengan seorang pelanggan. Akibatnya, mata kirinya kini tak dapat melihat dengan baik.
“Saya rasa nggak ada yang mau hidup seperti saya. Kadang saya merasa lelah akan hidup ini, tapi semua harus bisa saya lalui,” ujar Rika.
Niat Rika memperbaharui hidup mulai terbuka semenjak bergabung dengan Forum Kesatuan Waria Indonesia (FKWI), organisasi non profit bagi para waria untuk saling menguatkan diri satu sama lain.
Yulianus Rettoblaut atau Mami Yuli, ketua FKWI mempekerjakan Rika selama 3 jam per hari sebagai staf admistrasi untuk mengurusi dokumen dan membantu menyusun jadwal kegiatan anggota FKWI. Meski tak terpikir akan cita-cita lain, namun Rika kini tengah menjalani metamoforsis kehidupan.
“Hampir semua waria di Indonesia memiliki masalah yang sama. Tindak diskriminasi dari keluarga dan masyarakat, terpaksa membuat mereka pergi dari keluarga yang juga artinya meninggalkan pendidikan formal, dan akhirnya menjadi pelacur agar dapat bertahan hidup,” ujar Mami Yuli.